Sebagai tiang kedua setelah Al-Qur’an, hadits menempati posisi yang sentral dalam kajian keilmuwan Islam. Tak heran sarjana klasik begitu antusias meneliti dan menggeluti kajian ini. dimulai pada era sahabat, era terbaik sebagaimana disabdakan oleh kanjeng Rasul, Hadits mulai diperhatikan; dihafal, diriwayatkan dan ditulis –oleh sebagian sahabat-, Meski perhatian yang dicurahkan ketika itu tak sebanding dengan perhatian terhadap Al-Qur’an. Mereka mendatangi halaqah-halaqah Nabi, menyimak segala ucapannya, mengikuti apa yang dilakukannya dan meriwayatkan dan mengajarkan segala apa yang diperoleh dari Nabi kepada sahabat lain. Keadaan seperti ini berjalan secara terus menerus secara alami.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sahabat selain menghadiri pengajian Nabi Muhammad Saw, mereka juga berjibuki dengan kesibukan yang bervariasi; berdagang, bertani, menggembala, berperang dan lain sebagainya. Sehingga tidak semua bisa duduk manis mendengar petuah-petuah nabawi. Namun ini bukan halangan yang berarti bagi mereka, ketika seorang tidak hadir, sahabat lain memberitahukan dan menyampaikan apa yang didapat dari sana . Sebuah keraguan –terkadang- muncul dari seorang sahabat atas kebenaran yang disampaikan oleh rekannya. Sehingga dia membutuhkan bukti hanya untuk menerima hal tersebut. Bukti yang dipinta adalah syahid, seorang yang juga mendengar langsung wejangan itu dari Nabi Muhammad Saw. Tentunya kasus seperti ini marak pasca mangkatnya Nabi Muhammad Saw, sebab tidak ada lagi sosok yang dijadikan rujukan apabila muncul problematika baru.