Takwil; Antara Teologi dan Teosofi
Oleh: Fahim Khasani
Terma takwil adalah tema
yang krusial dalam diskursus Tafsir. ia menempati posisi yang sentral guna
mengharmonisasikan kontradiksi antara Al-Aql dan al-Naql.
Al-Qur'an dengan tabiat bahasa arabnya tidak mungkin untuk dipahami secara
lugu. Klasifikasi tentang ayat Muhkamat dan Mutasyabihat secara tersirat
mengindikasikan hal itu. Meski ada sebagian pakar mengatakan bahwa ayat
Mutasyabihat bisa dipahami oleh mereka yang sampai pada tingkat pemahaman yang
tinggi (al-Rasikhun fi al-Ilm).[1]
Al-Qur'an terlalu agung jika hanya didekati dengan makna literal. Pendekatan
seperti itu terbukti tidak mampu untuk menjawab kegelisahan yang selama ini
bermunculan. Tema tentang ilahiyyat menjadi bukti yang tidak bisa dipungkiri.
Al-Qur'an diturunkan oleh
Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan menggunakan bahasa arab, bahasa
manusia.[2]
Hal ini tidak lain adalah agar manusia bisa memahami maqashid yang
hendak disampaikan melalui susunan ayat-ayatNya. Namun justru dari sana muncul sebuah
problema. Al-Qur'an dalam berbagai ayat yang berisi tentang ilahiyyat
menggunakan diksi yang sarat dengan dimensi manusia yang serba terbatas, jauh
dari sifat-sifat Tuhan yang maha Jalal dan Jamal itu. Semisal
kata Al-Yad, al-Wajh, al-Dhahir, al-Bathin dan lain
sebagainya.