The Mistics of Islam[1]
[ Menguak Historisitas Kaum Esoterik ]
Oleh: Fahim Khasani
Prolog
Tasawuf dan sufi, mungkin dua kata ini sudah tidak asing di telinga para akademisi muslim seperti kita. Namun mungkin masih banyak yang sering bertanya-tanya “apa sih Tasawuf itu? Bagaimana tasawuf dalam islam itu muncul?” Berawal dari pertanyaan inilah penulis dengan segala keterbatasannya berusaha mengupas sisi historis mistikisme Islam(baca: tasawuf).
Tasawuf sebagai sebuah obyek esoterik dalam Islam dalam bentangan sejarahnya banyak menuai kritikan, terutama kritik kiri yang kerap dilontarkan oleh kaum orientalis. Mereka yang notabenenya bukan beragama Islam ingin memunculkan image atau kesan buruk terhadap dunia mistik umat Islam dan Islam itu sendiri.
Tulisan yang cukup amburadul ini selain memotret historisitas singkat mistikisme Islam, juga memotret tarekat-tarekat sufi yang tumbuh subur dan menjadi representasi tasawuf masa kini.
Makna Terma Tasawuf; Tasawuf Secara Etimologi Dan Terminologi
Dari berbagi pendapat diatas, pendapat yang lebih dekat pada kebenaran adalah pendapat pertama. Hal ini juga diamini oleh beberapa sejarawan Islam klasik semacam Ibn Khaldun dan Al-Siraj Al-Thusy dalam karyanya Al-Luma, dengan alasan sesuai dengan kaidah linguistika bahasa Arab. Selain itu shouf merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para zahidin diawal lahirnya Islam.[4]
Adanya ikhtilaf tentang asal kata tasawuf dan sufi ini menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dikalangan orientalis yang secara intens mempelajari dunia mistik dalam Islam. Hal ini direkam oleh Ali Samy Al-Nassar dalam bukunya Nasy’at Al-fikr Al-Falsafy. Beliau mengemukakan, para orientalis barat seperti Teodor Noldekh menganggap Tasawuf adalah ajaran agama Nasrani yang berkembang di jazirah Arab sebelum Islam muncul, kemudian diadopsi oleh umat Islam. Mereka berdalih shouf adalah pakaian yang biasa dipakai para rahib-rahib agama Nasrani. Dan orang-orang yang zuhud memakai shouf tersebut dalam rangka tasyabuh terhadap mereka.[5]
Agaknya tuduhan yang mereka lontarkan sangat rapuh dan tidak berdasar. Kalau memang mereka-para zahidin- memakai shouf untuk ber-tasyabuh dengan para rahib Nasrani, mengapa istilah sufi justru baru muncul pada abad ke-2 H? hal ini menunjukkan kelemahan bukti-bukti yang mereka kemukakan.[6]
Tasawuf secara terminologi mempunyai sangat banyak definisi dan bervariasi. Sangat sulit mendefinisikan terma Tasawuf dengan definisi yang jami’, mani’dan mencakup seluruh aspek yang ada dalam Tasawuf. Reynold Nicholson(seorang orientalis asal Inggris) menemukan 70 lebih definisi tentang Tasawuf. Bahkan Al-Syahrawardi mengatakan ada sekitar 1000 definisi tentang Tasawuf. Hal ini disebabkan Tasawuf bersifat esoteris(batin), disamping itu Tasawuf merupakan pengalaman spiritual seorang sufi yang seringkali berpindah dari maqam satu ke maqam yang lain. sehingga dalam mendefinisikan terma Tasawuf sang sufi memberikan definisi yang subyektif, sesuai dengan apa yang mereka jalani.[7]
Syeikh Abdul Halim Mahmud menyeleksi definisi-definisi para pioneer sufi tentang Tasawuf, untuk mendapatkan definisi bisa mencakup seluruh aspek Tasawuf. Akhirnya beliau memilih definisi Al-Kitany, karena definisi inilah yang dianggap sebagai definisi yang bisa dikatakan hampir jami’ dan mani’. Al-Kitany mendefinisikan Tasawuf dengan dua kata yaitu: Shafa’ dan Musyahadah. Beliau mengatakan bahwa metode seorang sufi adalah pengimplementasian mereka atas firman Allah: “sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu”.[8] Dan tujuan dari penjernihan jiwa adalah kejernihan jiwa itu sendiri. Inilah maksud kata shafa’ yang dimaksud oleh Al-Kitany. Adapun maksud kata musyahadah dalam definisi tersebut adalah proses untuk dapat menggapai tujuan dari Tasawuf, yaitu pengamalan yang mendalam atas syahadat أشهد ان لا اله الا الله .[9]
Tasawuf Abad ke-1 dan 2; Fase kelahiran Tasawuf
Pada masa awal-awal Islam, Tasawuf muncul sebagai bentuk kesempurnaan dalam beragama, berupa implementasi atas ajaran dan nilai-nilai keislaman dan sikap zuhud terhadap dunia. Para zahidin pada era tersebut selalu mengajak untuk tidak terlalu larut dalam urusan duniawi, Utamanya para Qurra’ dibawah pengawasan Abdullah bin Mas’ud. Ini tercermin dalam kata-kata yang disampaikan oleh beliau:
“Seyogyanya bagi seorang Ahl al-Quran untuk selalu terjaga dimalam hari, ketika orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya, menahan lapar disiang hari ketika orang-orang sedang asyik mengisi perutnya, bersedih ketika orang-orang terbuai dalam kegembiraannya dan menangis ketika orang-orang tertawa dengan lepasnya…..”[10]
Selain para Qurra’, ada ada kelompok sahabat yang sering dikenal dengan Ahl Al-Shuffah. Mereka adalah kelompok fakir miskin diantara kaum muslimin yang hijrah ke Madinah bersama atau setelah Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak mempunyai famili untuk disinggahi, sehingga mereka tinggal di Shuffah(sebuah tempat dibelakang masjid Nabawy yang terletak diseblah kiri. Sekarang, terletak persis dibelakang makan Nabi Muhammad SAW).[11]
Ahl Al-Shuffah termasuk diistimewakan oleh Nabi Muhammad SAW, terbukti ada beberapa ayat Al-Quran yang turun khusus untuk menggambarkan kondisi mereka.[12] Walaupun mereka tinggal di Shuffah, tidak berarti hanya berpangku tangan dan bermalas-malasan. Mereka keluar dari Shuffah disiang hari karena suatu pekerjaan dan kembali dimalam hari. Penduduk Madinah sendiri sangat ramah terhadap mereka. Bahkan sering menyempatkan diri untuk mengirim makanan dan minuman sampai mereka mendapatkan pekerjaan. Penduduk Madinah menyebut mereka dhuyuf al-Islam(tamu-tamu Islam). Atas kezuhudan mereka, para peneliti ilmu Tasawuf meyakini bahwa merekalah cikal-bakal munculnya Tasawuf dalam Islam.[13]
Melihat sikap zuhud yang dilakukan para sahabat, kaum orientalis barat berupaya mengembalikan zuhud pada faktor eksternal. Reynold Nicholson misalnya, menuliskan dalam bukunya Fi Al-Tasawuf Al-Islamy menyatakan bahwa zuhud dalam Islam adalah salah satu dampak akulturasi antara kaum Muslimin dengan kaum Nasrani terutama para pendeta. Menurut pandangannya kaum Nasrani telah menanamkan benih-benih kezuhudan di kawasan jazirah Arab pada masa pra-Islam. Selain itu dia juga menyatakan zuhud bukanlah murni ajaran Islam, dalam artian zuhud adalah al-Dakhilah yang masuk ke dalam Islam. Dia berdalih bahwa kata zuhud hanya disebut sekali dalam al-Quran itupun bukan zuhud yang berarti sufi.[14] Padahal kalau diteliti lebih jauh lagi sangatlah banyak ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-Hadits yang substansinya menjelaskan tentang zuhud. Ini menunjukkan pendapat Nicholson sangatlah rapuh dan tidak berdasar.
Mengenai masalah penyebaran Nasrani di jazirah Arab, Ali Samy Al-Nassar mengemukakan bahwa memang sebelum Islam datang Nasrani telah dulu ada di jazirah Arab, akan tetapi perkembangannya tidak begitu luas. Bahkan, bisa dikatakan minoritas. Begitu juga tentang pengaruh spiritualnya, Nasrani tidak begitu memberi pengaruh yang signifikan terhadap spiritualitas dan mentalitas bangsa Arab kala itu. Mereka tetap berpegang teguh pada kepercayaan mereka, pagan.[15]
Kondisi politik umat Islam pada akhir masa Khulafa Al-Rasyidin memanas yang berujung pada terbunuhnya sahabat Utsman bin Affan RA dengan sangat sadis dan memunculkan fitnah-fitnah dikalangan para sahabat. Pasca tragedi ini tampuk kekhalifahan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib RA, namun kondisi politik tak kunjung stabil. Bahkan bertambah kacau, lantaran Muawiyah tidak terima atas kematian Utsman bin Affan dan menuduh Ali bin Abi Thalib terlibat dalam masalah tersebut. Hal ini kemudian berlanjut dengan perang Shiffin. sehingga muncullah insiden tahkim yang melahirkan sekte-sekte baru dalam Islam-khawarij dan syi’ah-. setelah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kursi kekhalifahan di duduki oleh Bani Umayyah. Lalu Bani Umayyah mengkudeta tampuk kepemimpinan islam yang mengakibatkan terjadinya rentetan konflik antara Bani Umayyah dengan sekte Syi’ah dan keturunan Ali. Konflik tersebut akhirnya berujung pada kematian Husein bin Ali dipadang Karbala .
Hal ini sungguh menyisakan duka tersendiri dikalangan umat Islam. Maka tidak heran jika di Kufah muncul al-Tawabin dan al-Bukaiyin sebagai reaksi psikologis atas tragedi Karbala tersebut. begitu pula di Basrah, Hasan al-Basry(w 110 H) dan tokoh-tokoh lainnya yang aktif dalam forum Hasan, merekalah orang-orang yang memilih jalan selamat untuk tidak ikut campur dengan urusan politik dan menjauh dari arus pemerintahan ketika itu. Apalagi mayoritas mereka tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebagian mengekspresikan ketidaksetujuan tersebut dengan menjauhi kehidupan dunia dan memilih diam. Bisa dikatakan munculnya gerakan-gerakan Tasawuf pada masa ini sebagai reaksi atas ketidakstabilan kondisi politik kala itu.[16]
Tasawuf Abad ke- 3 dan 4; Masa keemasan Dunia Mistik Islam
Dalam khazanah keilmuan Islam abad ke-3 adalah masa yang tak terlupakan. Pasalnya masa ini adalah masa pengkodifikasian ilmu-ilmu Islam, tak terkecuali ilmu Tasawuf. Para pioner-pioner Tasawuf mulai menyusun buku-buku yang berisikan ajaran Tasawuf diantaranya:
- Al-Mahasiby(w 243 H), menurut Al-Subky dalam buku biografisnya Thabaqat Al-Syafi’iyyah menyebutkan Al-mahasibi memiliki kurang lebih 200 karya. Mayoritas berisi tentang pembahasan-pembahasan mistis, namun karya beliau yang paling masyhur adalah Al-Washaya dan Al-Ri’ayah li huquqillah.
- Al-kharraz(w 279 H)
- A-Junaed(w 297 H)
- Al-Hakim al-Turmudzi(w 320 H)
Dengan rampungnya pengkodifikasian ajaran-ajaran Tasawuf menjadikannya salah satu fan ilmu dalam khazanah keilmuan Islam. Maka tidak heran kalau para peneliti dunia mistik Islam mempunyai konklusi bahwa pada era ini Tasawuf telah mencapai fase kematangannya. Sebab teori-teori Tasawuf sudah tersusun rapi dalam lembaran-lembaran buku. Ibn khaldun, seorang sejarawan Islam terkemuka mengklasifikasikan ilmu Syari’ah menjadi dua bagian: bagian pertama mencakup obyek eksoteris yang meliputi ahkam al-Ibadat, al-‘adat, dan al- Mu’amalat. Bagian kedua mencakup obyek esoteris yang menjadi bidang garap ilmu Tasawuf.[17]
Kehidupan sufistik pada masa ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan masa sebelumnya. Jika pada abad sebelumnya yang ada hanya istilah zuhud dan wara’, maka pada abad ke-3 ini muncul istilah-istilah baru seperti Mahabbah yang didengungkan oleh Rabi’ah Al-Adawiyah, Ma’rifat oleh Dzun nun Al-Misry[18] dan Fana’. Namun konsep fana’ ini akhirnya terbagi menjadi dua: pertama, sufi yang menganut konsep fana’ tetapi tidak sampai terjerembab dalam kubangan hulul dan ittihad. Karena menurut mereka sikap ini telah keluar dari koridor syari’ah. Diantara tokoh-tokoh fana’ versi pertama ini: Al-Junaed dan Sahl Al-Tustary. Kedua,sufi penganut fana’ dan terperangkap dalam lingkaran hulul dan ittihad. Mereka antara lain: Abu Yazid Al-Busthamy, imam Syibli dan seorang mistikus kontroversial Husein bin Mansur Al-Hallaj.[19]
Selain era kodifikasi, abad ke-3 juga dikenal dengan era terjemah. Pasalnya ada penerjemahan besar-besaran buku-buku asing kedalam bahasa Arab seperti Filsafat, Kedokteran dan Astronomi. Praktek penerjemahan ini didukung penuh oleh pemerintahan Abbasiyah yang ketika itu memegang roda pemerintahan.
Persinggungan Filsafat Yunani dengan Islam membawa dampak yang signifikan dalam khazanah keilmuan Islam. Terbukti pada saat itu muncul ilmu-ilmu baru yang berakar pada Filsafat Yunani, misalnya retorika Mantiq. Ilmu ini muncul sebagai upaya umat Islam (baca: Mu’tazilah) untuk membentengi akidah mereka dari serangan Nasrani dan Yahudi. Sebab mereka menggunakan retorika Mantiq dan Filsafat Yunani untuk berdebat. Maka umat Islam merasa perlu menggunakan kedua ilmu tersebut untuk memukul balik mereka.[20]
Dampak penerjemahan tersebut juga terasa dalam Tasawuf. Terbukti pada masa ini muncul sosok-sosok sufi yang konon terpengaruh dengan ajaran dan kultur-kultur asing, seperti Persia , yunani dan India . Sebut saja Al-Hallaj, seorang mistikus kontroversial dengan jargon-jargonnya yang terkenal semisal Ana al-Haq dan Ma fi al-Jubbah illa Allah. Yang berujung pada kematiannya dengan sangat tragis, kepalanya dipenggal, kaki dan tangannya dipotong, setelah itu sisa tubuhnya direbus dengan minyak lalu dibakar. Abunya lalu dibawa ke sebuah menara yang ada di pesisir sungai Tigris .[21] Walaupun begitu, bukan berarti semua ajaran Tasawuf terkontaminasi dengan budaya asing, ajaran Tasawuf moderat yang berlandaskan Al-Quran dan Al-Sunnah masih tetap eksis, dibawah pengawasan mistikus-mistikus agung seperti Al-Junaed, Al-Muhasiby, Al-Sirry Al-Saqathy dan Al-Hakim Al-Turmudzy. Mereka mendirikan forum-forum pembelajaran Tasawuf. Dari forum-forum inilah kemudian berkembang menjadi tarekat-tarekat Tasawuf yang sampai sekarang masih eksis, bahkan berkembang di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia .
Tasawuf Abad ke-5
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya muncul dua corak pemikiran Tasawuf, Tasawuf moderat dan ekstrim. Akan tetapi sufi ekstrim kurang mendapat tempat, sehingga gaungnya melemah.[22] Hal ini lantaran ajaran Ahl Al-Sunnah(baca: Al-Asy’ariyah) ketika itu mendominasi. Ajaran teologis yang didirikan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari ini kerap melontarkan kritikan-kritikan kepada mistikus ekstrimis dan menentang konsep Hulul dan Ittihad dan ru’yat Allah fi al-Dunya yang mereka gembar-gemborkan. Lain halnya dengan Tasawuf sunni, Tasawuf sunni tumbuh subur ketika itu, dan melahirkan pioner-pioner baru seperti Al-Qusyairy dan Al-Ghazaly.[23]
Al-Qusyairy dalam karya monumentalnya Al-Risalah menggabungkan antara syariat dan hakikat. Hal ini tercermin dalam ucapan-ucapan beliau:
الشريعة : امر بالتزام العبودية. و الحقيقة: مشاهدة الربوبية. فكل شريعة غير مقيدة بالشريعة فغير مقبول. فالشريعة جاءت بتكليف الخلق, والحقيقة إنباء عن تصريف الحق. فالشريعة أن تعبده, والحقيقة أن تشهده. والشريعة قيام بما أمر, والحقيقة شهود لما قضى و قدر, وأخفي و أظهر.[24]
Begitu pula dengan Al-Ghazaly, dalam maha karyanya Ihya’ ulumuddin, dengan 4 pokok bahasan: Al-Ibadat, Al-‘adat, Al-Muhlikat dan Al-Munjiyat, Al-Ghazaly menjadikan Tasawuf tidak hanya sebagai metode dalam ibadah, taqarrub kepada Allah dan mujahadah, namun beliau juga menjadikan Tasawuf sebagai ilmu yang bersifat praktis dan jalan untuk mencapai sebuah tujuan. Yang mana tujuan tersebut menjadi sebab adanya agama dan turunnya syariat.[25]
Tasawuf Abad ke-6 dan 7; Lahirnya Tasawuf Falsafi
Setelah buku-buku Filsafat Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab, para pelajar Islam berbondong-bondong mempelajari ilmu ini, sehingga muncul pakar-pakar Filsafat(baca:filososf). Diantara para filososf tersebut ada yang mempunyai kecenderungan terhadap dunia mistik Islam. Tak ayal, Tasawufpun dibenturkan dengan pemikiran filsafat sehingga lahirlah apa yang dinamakan dengan Tasawuf falsafi, sebuah konsep Tasawuf yang menggunakan pendekatan rasio dan kerap menggunakan bahasa simbolik filosofis.
Berawal dari Tasawuf falsafi inilah kemudian muncul teori wahdat al-Wujud(unity of existence), yang sering dinisbatkan dengan sufi kenamaan Muhyidin Ibn Araby(w 637 H). Meskipun sebenarnya Ibn Araby bukan pencetus awal konsep ini.[26]
Tarekat-Tarekat Sufi; Representasi Tasawuf Masa Kini
Agaknya kurang lengkap jikalau membahas historisitas Tasawuf tanpa menyinggung tarekat-tarekat sufi, tarekat berasal dari kata “thariqah” artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan; Ilmu batin, Tasawuf. Tarekat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya. Pengamalan tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-praktek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah shalat wajib, dan mempratekkan riyadah.
Tarekat merupakan metode psikologi moral untuk mengenal Tuhan dengan bimbingan seorang trainer(baca:mursyid) tertentu dan mempunyai aturan-aturan tertentu. Nama sebuah tarekat sering dinisbatkan kepada nama trainer atau pendiri tarekat tersebut, misalnya tarekat Al-Syadziliyah yang diprakarsai oleh Syeikh Abu Al-Hasan Al-Syadzily, tarekat Al-Qadiriyah oleh syeikh Abdul Qadir Al-Jilany.
Mengenai asal mula tarekat, diriwayatkan bahwasanya dulu Sayidina Ali bin Abi Thalib meminta Nabi Muhammad SAW untuk menunjukkan jalan atau metode yang paling dekat untuk sampai kepada Allah, kemudian Nabi berkata: hai Ali, hendaknya kamu mendawamkan dzikir kepada Allah. Kiamat tidak akan terjadi selama masih ada orang yang mengucapkan kata “Allah” dimuka bumi ini. Kemudian Ali berkata: bagaimana caranya berdzikir wahai Rasulullah? Nabipun menjawab: pejamkanlah kedua matamu dan dengarkanlah apa yang aku ucapkan tiga kali, kemudian ucapkanlah tiga kali apa yang kau dengar sedangkan aku menyimakmu. Kemudian Rasulullah SAW dengan memejamkan mata mengucapkan: “la ilaha illa Allah” tiga kali dan Ali menyimak Nabi. Setelah itu Ali dengan memejamkan mata mengucapkan: “la ilaha illa Allah” dan Nabi menyimaknya.
Kemudian Ali bin Abi Thalib mengajarkannya kepada Hasan Al-Basry(w 110 H), kemudian Hasan mengajarkannya kepada Hubaib bin Muhammad Al-‘ajamy (w 119 H), kemudian Hubaib mengajarkannya kepada Abu Salman Daud bin Nashir Al-Tha’I (w 162 H), kemudian Abu Salman mengajarkannya kepada Abu Mahfudz bin Fayruz Al-Karakhy(w 253 H), kemudian Al-Karakhy mengajarkannya kepada Abu Al-Qasim Al-Junaed (w 297 H), dari Al-Junaed kemudian menyebar ke seluruh tarekat-tarekat sufi.[27]
Pada akhir abad ke-3, mistikus-mistikus agung seperti Al-Juneid, Al-Saqathy, Al-Kharraz membentuk forum- forum spiritual untuk penggemblengan ilmu Tasawuf. Akan tetapi konsep-konsepnya belum tersusun secara sistematis.[28] Baru kemudian pada abad ke-6 muncul tarekat yang sudah memiliki konsep dan metode suluk yang mapan sepeerti tarekat Al-Qadiriyah didirikan oleh syeikh Abdul Qadir Al-Jilany(w 561 H) yang mempunyai garis keturunan dengan dengan Hasan bin Ali RA dan tarekat Al-Rifa’iyah oleh syeikh Ahmad Al-Rifa’i(w 570 H) yang juga masih keturunan Hasan bin Ali.
Abul wafa Al-Taftazany -seorang pemerhati Tasawuf Mesir- menyatakan bahwa dua tokoh tadilah yang mendasari berdirinya tarekat-tarekat sufi pada era setelahnya. Keduanya juga banyak mengambil konsep-konsep suluk sufi dari Al-Ghazaly.[29]
Kemudian di era berikutnya muncul tiga tarekat baru: tarekat Al-Syadziliyah oleh syeikh Abu Al-Hasan Al-Syadzily(w 642 H) seorang sufi kenamaan asal Tunis yang kemudian pindah dan menetap di Iskandariyah, tarekat Al-Ahmadiyah oleh syeikh Ahmad Al-Badawy(w 675 H) seorang sufi agung berasal dari tanah Maghrib(baca: Maroko) kemudian pindah ke Mesir dan menetap di Thanta sampai akhir hayat beliau, tarekat Al-Burhamiyah oleh syeikh Ibrahim Al-Dasuqy(w 676 H) seorang sufi kenamaan asal Mesir, dilahirkan dan meninggal di daerah Dasuq.[30]
Mayoritas tarekat-tarekat yang ada di Mesir dinisbatkan kepada empat mistikus agung: syeikh Abdul Qadir Al-Jilany, syeikh Ahmad Al-Rifa’I, syeikh Ahmad Al-Badawy dan syeikh Ibrahim Al-Dasuqy. Kemudian tarekat-tarekat tersebut terpecah hingga berpuluh bahkan beratus-ratus tarekat yang tersebar diseluruh belahan dunia tak terkecuali Indonesia .
Epilog
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua agama, sekalipun agama pagan mempunyai obyek esoterik sendiri-sendiri, tak terkecuali Islam. Tasawuf sebagai obyek esoterik tidak bisa dipisahkan dengan Islam, bisa dikatakan Tasawuf adalah ruh dari Islam itu sendiri. Tasawuf adalah murni ajaran Islam yang bersumber pada Al-Quran, Al-Sunnah dan ucapan dan perbuatan sahabat, jika orientalis barat mengasumsikan Tasawuf bersumber dari Nasrani maka itu sangat salah besar. Sebab setiap agama atau kepercayaan mempunyai ajarannya sendiri, sehingga tidak bisa dengan gampang mengklaim salah satu agama terpengaruh dengan agama lain dengan dalih adanya keserupaan ajaran atau konsep. Disini penulis mencium adanya upaya untuk memunculkan image-image buruk tentang Tasawuf, dengan tujuan untuk menghancurkan Islam.
Walaupun tidak bisa dipungkiri setelah adanya gerakan penerjemahan besar-besaran literatur-literatur asing, ada sebagian mistikus Islam yang terkontaminasi dengan budaya luar. Sehingga muncul mistikus-mistikus yang ekstrim dengan teori yang ekstrim pula. Namun hal tersebut wajar dalam perkembangan suatu ilmu.
Penulis mengakui masih banyak kekurangan pada tulisan yang amburadul ini, utamanya dari segi isi, karena keterbatasan penulis dan referensi yang ada. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kematangan tulisan ini. Wallahu a’lam.
[1] Makalah dipresentasikan pada kajian masif marhalah Imtiyaz, PCINU Mesir, Ahad, 25 April 2010.
[2] Dr.Ali Samy Al-Nassar, Nasyat Al-Fikr Al-Falsafy, Vol: l, Dar El-Maaref, Kairo, cet.III, 1996, h.42
Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Fi Riyadh Al-Tasawuf Al-Islamy, Mathba’ah Risywan, Kairo, cet.I, 1997, h.15
[3] Dr.Ali Samy Al-Nassar, op. cit., h.39
[4] Ibid.
Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Op. cit., h.17
[5] Dr.Ali Samy Al-Nassar, op. cit., h.43
[6] Ibid.
[7] Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Op. cit., h.33
[8] Qs. Al-Syams: 9
[9] Dr.Abdul Halim Mahmud, Qadhiyat Al-Tashawuf, Dar Al-Maaref, kairo, cet.V, 2007, h.438
[10] Dr.Ali Samy Al-Nassar, op. cit., h.72
[11] Muhammad Al-Sayid Al-Ghalind, Tasawuf Dalam Pandangan Al-Quran dan Al-Sunnah, Di Indonesiakan oleh Muhammad Abdullah Al-Amiry, Cendekia Sentra Muslim, Jak-Sel, cet.I, 2003, h.19
[12] “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”(Qs.Al-Taubah: 100).
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Qs.Al-Anfal: 75).
[13] Muhammad Al-Sayid Al-Ghalind, Op. cit., h.20-21
[14] Ibid. h.52-53
Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Op. cit., h.73
[15] Dr.Ali Samy Al-Nassar, Op. cit., h.69
[16] Muhammad Al-Sayid Al-Ghalind, Op. cit., h.25-26
[17] Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Op. cit., h.83-84
[18] Ibid. h.87
[19] Muhammad Al-Sayid Al-Ghalind, Op. cit., h.85-86
[20] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Vol. l, Maktabah Al-Usrah, Kairo, Tanpa cetakan, 1997, h.274
[21] Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Op. cit., h.103
[22] Sufi ekstrim kembali muncul pada awal abad ke-7 setelah Tasawuf bersinggungan dengan Filsafat.
[23] Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Op. cit., h.116
[25] Ibid. h.146-147
Sebenarnya pencetus awal teori Wahdat Al-wujud adalah Ibn Masrah, namun kemudian di sebar luaskan oleh Ibn Araby.
[27] Dr.Ahmad Abdullah Al-Yazha, Dirasah fi Al-Firaq Wa Al-Thawaif Al-Islamiyah, Al-Haiah Al-Misriyah Al-‘amah li Al-Kitab, Kairo, tanpa cetakan, 2009, h.375
[28] Dr.Gamal Sa’d Mahmud, Op. cit., h.91-92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ketik komentar anda, pilih name/URL, masukkan nama, dan klik poskan komentar