Minggu, 04 Desember 2011

Transkip Diskusi Al-Mizan Study Club; Eksistensi Ilmu Hadits


Sebagai tiang kedua setelah Al-Qur’an, hadits menempati posisi yang sentral dalam kajian keilmuwan Islam. Tak heran sarjana klasik begitu antusias meneliti dan menggeluti kajian ini. dimulai pada era sahabat, era terbaik sebagaimana disabdakan oleh kanjeng Rasul, Hadits mulai diperhatikan; dihafal, diriwayatkan dan ditulis –oleh sebagian sahabat-, Meski perhatian yang dicurahkan ketika itu tak sebanding dengan perhatian terhadap Al-Qur’an. Mereka mendatangi halaqah-halaqah Nabi, menyimak segala ucapannya, mengikuti apa yang dilakukannya dan meriwayatkan dan mengajarkan segala apa yang diperoleh dari Nabi kepada sahabat lain. Keadaan seperti ini berjalan secara terus menerus secara alami.


Tidak bisa dipungkiri bahwa sahabat selain menghadiri pengajian Nabi Muhammad Saw, mereka juga berjibuki dengan kesibukan yang bervariasi; berdagang, bertani, menggembala, berperang dan lain sebagainya. Sehingga tidak semua bisa duduk manis mendengar petuah-petuah nabawi. Namun ini bukan halangan yang berarti bagi mereka, ketika seorang tidak hadir, sahabat lain memberitahukan dan menyampaikan apa yang didapat dari sana. Sebuah keraguan –terkadang- muncul dari seorang sahabat atas kebenaran yang disampaikan oleh rekannya. Sehingga dia membutuhkan bukti hanya untuk menerima hal tersebut. Bukti yang dipinta adalah syahid, seorang yang juga mendengar langsung wejangan itu dari Nabi Muhammad Saw. Tentunya kasus seperti ini marak pasca mangkatnya Nabi Muhammad Saw, sebab tidak ada lagi sosok yang dijadikan rujukan apabila muncul problematika baru.


Terlebih ketika Umar bin Khattab ra menjabat sebagai khalifah. Umar ra sangat ketat terhadap Hadits, Hadits yang kurang familiar di telinga sahabat tidak bisa begitu saja diterima tanpa adanya sejumlah syahid yang berani mengucap sumpah di depan sang khalifah. Suasana berbeda ketika Utsman bin Affan ra menduduki kursi khalifah, pada masa ini perhatian terhadap Hadits kalah dengan proyek besar khalifah; penulisan Al-Qur’an. Belum lagi politik yang memanas ketika itu, Terlebih pasca tragedi fitnah kubro dan terbunuhnya khalifah Utsman ra, hingga berujung dengan meletusnya perang Siffin antara kubu Mu’awiyah ra dan Ali bin Abi Thalib ra, khalifah ketika itu. Kondisi Hadits pada masa ini mulai menghawatirkan, muncul berbagai Hadits imitasi untuk kepentingan politik sekte-sekte yang mulai menjamur, bak cendawan di musim hujan, seperti: Khawarij, Syi’ah dan kubu Mu’awiyah.

Keadaan yang demikian menggugah hati para sarjana klasik untuk mengobati luka yang sudah menganga di tubuh Hadits. Muncul kemudian apa yang dinamakan dengan ilmu Riwayah, ilmu Jarh wa Ta’dil, kritik matan Hadits dan lain sebagainya. Berbagai ilmu tadi, semua berafiliasi pada ilmu Hadits, tepatnya ilmu hadits Dirayah. Perangkat-perangkat tersebut dimunculkan sebagai resistor dan protektor atas maraknya hadits palsu yang berpotensi merusak keorisinalitasan Hadits nabawi.

Ilmu-ilmu tadi sebenarnya tidak semerta langsung berwujud seperti sekarang. Ada proses transformasi dari yang tadinya eksternal, berada jauh diluar bangunan ilmu hadits, kemudian menjadi salah satu bagian urgen yang tak terpisahkan. Sebut saja ilmu Riwayah, konon tradisi periwayatan sudah ada jauh sebelum ilmu Riwayah menjadi bagian dari ilmu Hadits, bahkan sebelum Hadits itu ada. Bangsa Arab jahili yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam menggubah syair telah menggunakan riwayat untuk mengabadikan syair-syair mereka, riwayat dari mulut ke mulut lintas generasi. Tradisi ini tanpa disadari digunakan oleh sahabat dan para penerusnya dalam meriwayatkan sebuah hadits. Hingga akhirnya mengharmoni menjadi identitas dalam tubuh ilmu Hadits itu sendiri.

Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya mengabadikan ujaran Ibn Sirrin, sekaligus menegaskan bahwa ilmu Riwayat telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ilmu Hadits, yaitu: dahulu, mereka tidak pernah menanyakan perihal isnad. Namun, setelah merebaknya fitnah, mereka berkata: sebutkan kepada kami rijal (rawi) kalian. Lalu dilihat pada ahlus sunnah dan diterima haditsnya, kemudian dilihat pada ahli bid’ah lantas tidak diterima haditsnya.

Dengan kata lain, riwayat yang sebelumnya digunakan pada ranah syair kemudian perlahan-lahan masuk dan terdomestifikasi ke dalam diskursus Ilmu Hadits, bahkan menjadi identitas tersendiri baginya.
***
Setelah tiga kali pertemuan membahas tema besar diskusi, akhirnya diputuskan, untuk satu tahun ke depan para Mizanis mempunyai grand tema ‘Domestifikasi Islam Dalam Diskursus; Strategi Maqashid dan Ilmu-ilmu Islam’. Tepat hari Jum’at, 23 September 2011, diskusi perdana untuk tema baru digelar. Kali ini rekan Lingga Labbaika diplot untuk membuka serangkaian diskusi yang akan digelar kedepannya. Dengan tajuk ‘Eksistensi Ilmu Hadits’ pemakalah menyuguhkan sosok Ilmu hadits diteropong melalui lensa sejarah. Eksistensi hadits era Nabi Muhammad Saw, Sahabat, Tabi’in tak luput dari pandangan penulis. Dengan gaya tutur, bahasa, serta senyum yang khas rekan lingga memulai presentasi. Kali ini rekan Fahim Khasani didaulat sebagai moderator untuk mengatur lalu lintas diskusi yang bertempat di kediaman bung Rony yang asri. Kurang lebih selama 30 menit penulis memaparkan seluruh isi makalah yang ditulisnya.

Usai presentasi makalah, diskusi dilanjutkan dengan mengupas lebih jauh aspek domestifikasi yang terjadi dalam ilmu Hadits. Pada sesi ini, semua mizanis diwajibkan untuk mengeluarkan semua analisa dan pembacaannya atas ilmu Hadits. Rekanita Izza mengawali sesi ini dengan mengupas historisitas ilmu Hadits mulai dari masa Nabi Muhammad sampai masa kodifikasi oleh Ibn Syihab Al-Zuhri dibawah pengawasan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada akhir abad pertama. Lebih lanjut rekanita izza menegaskan bahwa pada masa tabiin, mereka sudah mulai menggunakan kritik sanad dan matan dalam memilih dan memilah hadits-hadits yang otentik. Tesis ini sekaligus meruntuhkan asumsi Ignaz goldziher yang menyatakan bahwa umat Islam hanya mampu mengkritik sanad saja, tanpa ada kritik matan. Sehingga sangat mungkin matan hadits disisipi suatu dakhil.

Selanjutnya oleh rekan Masykur, diawal tanggapannya, rekan masykur menjelaskan perihal kedudukan dan kapasitas Hadits di mata punggawa-punggawa madzhab. Mereka sepakat bahwa Hadits adalah segala bentuk ucapan, laku, ketetapan dan sifat-sifat Nabi. Sanad dan berbagai perangkat yang digunakan ilmu Hadits tak lain berfungsi sebagai benteng (protector) secara lahir. Akan tetapi ada spirit yang lebih agung dan komunal dari pada itu, yaitu: ittiba’; meneladani akhlak dan laku Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa risalah langit.

Kali ini Yahya Muhammad dijadikan rujukan oleh rekan Angga, melalui pemetaannya atas perjalanan ilmu Hadits, mizanis nyentrik ini mulai menganalisa ilmu tersebut. Pertama tentang adagium Al-Shahabat kulluhum u’dul dalam Jarh wa Ta’dil. Sebuah aspek yang perlu dimintai ketegasan tentang arti dan murad kata sahabat itu sendiri. Kedua tentang otentisitas dan kebenaran Hadits, menurutnya untuk melacak otentisitas sebuah Hadits diperlukan tiga aspek-meminjam metode William jims-; Al-I’tiqad (The belief), Al-Shidq (The truth) dan Al-Tabrir. Melalui ketiga perangkat tersebut, kebenaran dan otentisitas sebuah Hadits dapat dipertanggung jawabkan.

Dalam mengulas sejarah suatu ilmu, terutama ilmu Hadits, penting kiranya mengekspos motif-motif yang mendorong kelahirannya, lebih jauh tentang tujuan dan fungsi eksistensi ilmu tersebut. Pembahasan ini menjadi penting untuk sekedar mengungkap sisi sejarah yang tak terbaca, sehingga pembahasan lebih apik dan tidak terkesan monoton. Papar rekan Luthfi. Selanjutnya, rekan Fahmy menyatakan kekurang setujuannya dengan metode yang disuguhkan oleh rekan Angga. Menurutnya, metode seperti itu hanya akan memunculkan justifikasi yang ‘hitam-putih’ atas Hadits. Lebih lanjut, mizanis satu ini menyebutkan 3 aspek penting dalam sebuah upaya domestifikasi; Al-Bu’du al-Wa’yawi, Al-Bu’du al-Tarikhi dan Al-Bu’du al-Maudhu’i. ketiganya menjadi penting sebab sebuah kata sering kali mempunyai tipologi yang berbeda. Lebih lanjut menurutnya Hadits cenderung ekslusif ketika dihadapkan pada sekte-sekte yang ada. Indikasi ini seakan menemukan pembenarannya ketika statemen Ibn Sirrin yang sangat masyhur itu dibaca dengan kaca mata politik, seakan ada pembenaran dan pemihakan pada sekte tertentu. Ini menjadi problema tersendiri, dimana Hadits seringkali disalah gunakan untuk menopang kepentingan parsial sekte-sekte yang kala itu berkuasa.

Hal yang sangat menarik dalam ilmu Hadits –menurutnya- adalah domestifikasi nalar riwayat dalam syair arab ke tradisi sanad yang digunakan pakar Hadits, Sebuah proses yang sangat alami dan mungkin tanpa disadari oleh mereka. seyogyanya terma ini perlu digali lebih dalam ketika membahas domestifikasi dalam diskursus ilmu hadits, terutama pada dimensi sejarah.

‘Sebuah ilmu bisa eksis karena sesuatu yang mengitarinya’, kurang lebih demikian kata pembuka dari rekan Roni sebagai tuan rumah diskusi kali ini. lebih lanjut mizanis berambut gondrong ini mengupas perkembangan intelektual di tanah Arab sebelum dan ketika Islam datang. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa bangsa Arab terdepan perihal sastra, sehingga standar ilmiah yang berlaku kala itu adalah standar sastra atau penyair, dengan seabrek perangkat yang digunakan. Maka sangat wajar jika –tanpa disadari- para Sahabat dalam berinteraksi dengan Hadits menggunakan metode penyair yang ngetrend pada zamannya. Sebuah asimilasi metode yang sangat halus dan tanpa disadari. Lebih lanjut, merujuk pada pembacaan Yahya Muhammad, rekan Rony menegaskan pentingnya mengenali nalar ideologi perowi sebuah Hadits. Hal ini menjadi penting karena ia menjadi lahan basah untuk menopang kepentingan tertentu, selain fanatisme madzhab yang sangat mencolok pada awal abad ke-2 dan ke-3 sehingga kebenaran kerap kali tersingkirkan dan lebih mencari upaya pembenaran atas apa yang mereka yakini dan perjuangkan, seperti yang terjadi antara Sunni dan Syi’ah yang berlangsung hingga kini.

Rekan Dzunnun sebagai penyampai tanggapan selanjutnya mengupas kisah lahirnya Khawarij sebagai pangkal menjamurnya sekte Islam kelak. Geliat lahirnya Khawarij sebenarnya telah tercium sejak masa Nabi Muhammad Saw, namun karena Nabi menjadi tokoh sentral dan rujukan utama segala permasalahan kala itu, Khawarijpun masih belum mengeluarkan taringnya. Dan lagi-lagi tragedi Fitnah kubra dan Tahkimpun didakwa sebagai pencetus terpecahnya politik umat Islam, tak terkecuali Khawarij. Seakan menemukan momentum yang pas, para punggawanya mendeklarasikan diri dengan menolak mentah-mentah tahkim yang disetujui oleh Ali bin Abi Thalib ra selaku Khalifah. Pasca tragedi tersebut satu persatu bermunculan sekte baru. Disanalah Hadits kerap dipolitisasi, dikemas sedemikian rupa untuk membenarkan apa yang mereka yakini.

Sebuah varian domestifikasi yang berbeda disuguhkan oleh rekanita Syifa. Dengan mengharmonisasikan sejarah ilmu Hadits dan Fikih, mizanis satu ini berusaha mencari titik domestifikasi yang terjadi dalam diskursus ilmu Hadits. Mulanya pada masa tadwin yang digalakkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz Hadits mulai diabadikan ke dalam tulisan, diverifikasi, diberlakukan kritik atas matan dan sanadnya demi menemukan otentisitannya. Di lain hal ada dua kutub pemikiran Fikih yang sangat kondang kala itu; Fikih Irak dan Fikih Hijaz. Keduanya mempunyai corak yang berbeda, Irak cenderung rasional dengan menggunakan nalar qiyas-nya dalam menggali sebuah hukum, sedang Hijaz lebih ke arah tekstual dengan bejibun teks Hadits koleksi mereka. Tentunya sangat menarik jika perkembangan kedua kutub tersebut dikupas dalam satu bahasan, tentunya masih berbingkai upaya domestifikasi dalam konteks Ilmu Hadits.

Dimulai dengan memotret cara pandang masyarakat Sahabat, rekan Yunus memulai tanggapannya. Menurutnya, Hadits ketika itu hadir dalam dua bentuk; sebagai sebuah praktek dan kesadaran sejarah. Dalam ranah praktek ia digunakan untuk menjustifikasi setiap laku mereka. tak hanya dalam aspek ibadah dan mu’amalah, pun dalam hal politik. Ia juga dihadirkan dalam sebuah diskursus motivasi; antara semangat ittiba’ dan kepentingan. Apa yang diabadikan Ibn Sirrin tentang sammu lana rijalakum adalah bukti tak terbantahkan akan hal itu, sebuah upaya verifikasi sejauh mana ittiba’ kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan kodifikasi tak lain adalah upaya penyelamatan Hadits dari kebinasaan serta demi terjaganya kontinuitas dalam laku ‘ubudiyyah sebagaimana yang digariskan oleh Sang pembawa risalah langit.

Hadits, dalam pandangan rekanita Mila adalah otoritas dan sumber hukum kedua dalam Islam. Kebutuhan akan adanya sebuah hukum menjadi motivasi mereka yang berusaha melakukan kodifikasi Hadits nabawi, selain demi menjaga keotentikannya. Pada sisi ini hadirnya Al-Muwatha’ karya imam Malik menjadi bukti nyata. Kitab yang berisi kompilasi Hadits ahkam tersebut telah membuktikan betapa Fikih mempunyai hubungan yang sangat mesra dengan Hadits. Terbukti karya-karya monumental setelahnya menggunakan metode yang sama, yaitu sesuai dengan urutan pembahasan Fikih, semisal kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Kutub Al-Sunan. Rekanita Mila juga menyayangkan maraknya penggunaan Hadits dha’if akhir-akhir ini, terutama dalam kajian keagamaan di Indonesia.

Dalam tanggapannya, rekan Rouf mengingatkan pentingnya memahami Hadits sebagai ilmu yang bisa ditilik dari berbagai arah kaji, dengan maksud supaya lebih luas bidang kajianya. Mizanis berkaca mata ini juga menyayangkan dominasi riwayat bi al-Ma’na dalam meriwayatkan Hadits, sebab hal ini berpotensi mereduksi otentisitas Hadits itu sendiri. Betapa tidak, Hadits dalam konteks yang sama, seringkali punya redaksi yang berbeda seiring dengan perbedaan rijal dan sanad. Bahkan tak jarang maknanya pun bertolak belakang. Lebih lanjut rekan Rouf menjelaskan kaitannya dengan terma Domestifikasi, bahwa ia cenderung berjalan secara alami sehingga dalam tataran epistemologinya tidak bisa dipatok secara pasti, kultural.

Selanjutnya, Rekan Syafi. Kaitannya dengan verifikasi Hadits, mizanis imut tapi amit-amit ini menduga adanya campur tangan penguasa yang sangat kental. Ini terjadi sejak Umar Ra menjadi khalifah. Pada masa ini politik masih terkendali, Namun semuanya berubah setelah iklim politik memanas. Tak ayal Hadits pun ikut menjadi menjadi korban politik penguasa. Hingga muncul berbagai maudhu’aat menorehkan titik hitam dalam sejarah perjalanan ilmu Hadits.

Sebagai tanggapan pamungkas, rekan Fahim yang diplot menjadi moderator kali ini memulai tanggapan dengan membagi lahan kajian ilmu Hadits menjadi dua; ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah. Ini menjadi penting sebab keduanya adalah dua entitas yang berbeda dan tidak bisa dipisahkan. Sehingga keduanya mempunyai lahan domestifikasi yang berbeda pula. Ilmu Hadits Riwayah cenderung pada tataran aplikasi, sedangkan Dirayah lebih ke arah teori dengan tujuan untuk membentengi otentisitas dan mengklasifikasi suatu Hadits. Domestifikasi yang terjadi pada kedua entitas ini sama-sama berjalan alami. Menurutnya domestifikasi pada tubuh ilmu hadits riwayah bertumpu pada kitab Al-Muwatha’, kitab Fikih pertama versi Ahmad Amin. Di sana imam Malik berhasil menyusun Hadits Ahkam sedemikian rupa, hingga nantinya menjadi rujukan para pakar Fikih dalam mengabadikan pendapatnya.

Berbeda dengan ilmu hadits dirayah, konsep riwayat yang menjadi cirri khasnya telah terbentuk tanpa sadar sejak masa sahabat. Terutama ketika mendengar Hadits yang dirasa kurang familiar di kalangan mereka, secara reflek mereka spontan menanyakan asal-usul Hadits tersebut bahkan tak jarang meminta saksi dan mengambil sumpah. Setelah tradisi tersebut mengakar kuat, akhirnya dipatenkan menjadi salah satu bagian dari ilmu Hadits. Dengan motif yang hampir sama pula nantinya ilmu Jarh wa Ta’dil muncul mendampingi ilmu Riwayat. Perangkat-perangkat protector tadi dikumpulkan oleh pakar Hadits dan dilakukan teorisasi sehingga lahirlah ilmu Hadits. Kitab Al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’I anggitan Qadli Abdurrahman al-Ramahurmuzy 360 H diplot sebagai literature\ tertua dalam kajian ilmu mempunyai nama lain lmu Al-Musthalah itu.

Akhirnya, paripurna sudah diskusi kali ini. Dengan durasi kurang lebih 8 jam para mizanis masih tetap semangat untuk terus mengarungi luasnya samudera ilmu. Wallahu A’lam.
***
Reporter: Fahim Khasani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ketik komentar anda, pilih name/URL, masukkan nama, dan klik poskan komentar