Mengaku
Nabi
Oleh: Fahim Khasani
I
Persoalan nabi palsu bukanlah hal yang baru dalam fenomena perjalanan
Islam. Ia muncul –bahkan- saat Nabi Muhammad Saw masih sugeng. Adalah
Musailamah al-Kadzab (12 H) dari Bani Hanifah dan Al-Aswad al-'Anasiy (12 H) dari
Shan'a, Yaman, orang yang mengaku mendapat wahyu dan menjadi nabi. Musailamah
dengan segenap kemampuan nyleneh yang dimiliki mendeklarasikan diri
sebagai utusan Tuhan untuk meringankan beban Nabi Muhammad Saw menyebarkan
agama islam. Tak hanya itu, ia juga mendaku bahwa malaikat Jibril menurunkan kitab
suci untuknya yang serupa dengan Al-Qur'an.
Kasus Musailamah adalah salah satu dari
sejumlah kasus munculnya nabi palsu yang pernah terjadi. Dewasa ini kasus nabi
palsu juga terjadi di Indonesia .
Sebut saja Lia aminudin (Lia Eden), Ahmad Mukti (adik Lia Eden) dan Ahmad Mosaddeq
(H Abdussalam). Nama-nama tersebut pernah menjadi headline di berbagai
media massa
lantaran pengakuannya yang tergolong aneh dan nyleneh, mengaku nabi. label sesatpun langsung dialamatkan kepada mereka.
lantaran pengakuannya yang tergolong aneh dan nyleneh, mengaku nabi. label sesatpun langsung dialamatkan kepada mereka.
Fenomena mengaku nabi ternyata merata,
terjadi di hampir seluruh Negara yang penduduknya mayoritas muslim. Entah apa
faktor yang melatarinya, yang jelas hal tersebut adalah sebuah problem yang
harus disikapi dengan baik dan bijak. Meski demikian api yang mereka mereka
nyalakan dapat dipadamkan dengan mudah. Sebab Sudah merupakan kesepakatan final, bahwa Nabi Muhammad Saw
adalah Pamungkas dari segenap nabi yang diutus oleh Allah Swt. Ini berarti
tidak akan ada nabi baru yang datang setelahnya. Kesepakatan ini muncul bukan
tanpa dalil. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an dan beberapa riwayat hadits
membuktikan hal itu.
II
Sosok nabi dalam sejarah peradaban
manusia adalah sebagai perantara antara manusia (al-Nasut) dengan Tuhan
(al-Lahut). Sosok tersebut tidak hanya ada dalam agama samawi. Peradaban
manusia kuno semisal Yunani , Persia , China ,
India
dan Mesir kuno juga meyakini adanya sosok nabi yang mendapatkan semacam wahyu
dari langit. Tak heran jika Ali Mabruk dalam bukunya Al-Nubuwwah; Min ilm
al-'Aqaid ila Falsafat al-Tarikh mengklasifikasikan nabi menjadi dua macam,
yaitu: secara mitologi dan agama.
fungsi seorang nabi dalam mitologi
peradaban kuno lebih seperti peramal yang mencari informasi masa depan yang
didapat dari kabar langit. Dengan melakukan ritual-ritual tertentu kualitas
spiritual seseorang akan meningkat dan terus meningkat, hingga akhirnya
mencapai derajat tertinggi dan mendapatkan wahyu dari tuhan (al-Nubu'at
al-ilahiyyah) dan mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan yang tidak diketahui
oleh kaum awam. Konsep nabi –dalam pemaknaan ini- adalah sebuah usaha yang
bersifat insani bukan atas pilihan Tuhan sebagamana terkonsep dalam agama
samawi. Atau dengan kata lain seorang nabi muncul dari bumi lalu naik keatas
menuju langit (al-Shu'ud min al-Adna ila al-A'la), antroposentris murni.
Sebaliknya, dalam agama samawi, seorang
nabi adalah sosok pilihan Tuhan yang diberi tugas untuk menyampaikan kebenaran
dan mengatur keseimbangan hidup manusia dalam berbagai aspek (al-Hubuth min
al-A'la ila al-Adna), teosentris. Terkhusus dalam Islam posisi seorang nabi
sangat sentral. Sehingga tak berlebihan jika percaya terhadap adanya nabi
menjadi salah satu rukun yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang yang hamba
beriman.
Nabi adalah perantara dan penyampai
pesan-pesan Tuhan. Oleh karenanya segala yang bersumber darinya merupakan
manifestasi dari pesan langit yang hendak disampaikan guna memperbaiki kondisi
moral manusia. tentunya setiap nabi membawa pesan tertentu yang sesuai dengan
zaman dimana nabi tersebut diutus. Terlepas dari perdebatan teologis apakah
diutusnya nabi merupakan kewajiban bagi Tuhan atau masuk kategori mumkinat,
hadirnya seorang nabi adalah awal dari babak baru kehidupan.
Seorang nabi mengemban misi yang agung
yaitu revolusi kehidupan di berbagai lini serta menumbuhkan perdamaian diantara
manusia. Nabi Muhammad Saw lahir di tanah Makkah, dimana nilai kemanusiaan
tidak lagi digunakan oleh manusia. hukum yang digunakan adalah hukum rimba.
Namun dengan semangat revolusionis dan bimbingan wahyu Tuhan yang turun secara
gradual (al-Qur'an dan Hadits), keadaan berangsur berubah menuju ke arah yang
lebih baik.
Sebagai seorang manusia yang diberikan
wahyu, ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh manusia pada umumnya.
Segala yang bentuk perbuatan, ucapan dan ketetapannya adalah manifestasi dari
wahyu tuhan dan selalu dalam pengawasan langit. Sehingga apapun yang bersumber
darinya adalah tauladan yang harus diikuti serta menjadi rujukan bagi generasi
setelahnya. Mereka yang semasa dengan nabi mempunyai keistimewaan tersenidiri,
lantaran mendapat emanasi dari cahaya nubuwah yang merupakan refleksi cahaya
ketuhanan. Hal ini yang dimaksud dalam hadits:
Khair al-Qurun
qarni, tsumma al-ladzi yalunah, tsumma al-ladzi yalunah.
Namun, silsilah kenabian telah berakhir
dengan mangkatnya nabi Muhammad Saw. Ini berarti tidak ada lagi nabi baru
setelahnya yang membawa ajaran baru. Berakhirnya kenabian bukan berarti emanasi
cahaya nubuwah telah padam. Al-Qur'an dan Hadits yang ditinggalkannya
adalah warisan agung dan penyambung cahaya nubuwah. Menjadi pedoman inti
untuk melanjutkan misi yang diemban Nabi Muhammad Saw yaitu menebar kasih
sayang dan perdamaian di bumi.
Oleh karenanya upaya ijtihad menjadi
sangat urgen. Ijtihad untuk masa setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw lebih mirip
seperti bahan bakar, supaya cahaya kenabian tidak lantas padam. Sehingga
merupakan hal yang aneh jika kemudian ada upaya untuk menutup pintu ijtihad.
Kejumudan atau kemandegan dalam berijtihad sama artinya dengan memadamkan
cahaya nubuwah yang hanya akan menggagalkan misi yang diemban oleh Nabi Muhammad
Saw, yaitu menebar rahmat dan kasih sayang.
Meski nabi adalah sosok pilihan yang
berbeda, akan tetapi ia tetaplah seorang manusia yang hidup dalam komunitas
tertentu, menggunakan bahasa, adat dan budaya tertentu. Sehingga dalam
berijtihad hal tersebut selayaknya diperhatikan. Mengabaikan sisi kemanusiaan
nabi hanya akan mencederai maksud dan misi yang diemban oleh nabi dan
memadamkan cahaya kenabian.
Menarik apa yang dikatan oleh M. Iqbal
sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim Shorous bahwa dengan tertutupnya pintu
kenabian maka manusia menemukan kebebasannya. Dalam artian tidak perlu menunggu
sosok pembaharu ajaran langit (Mushlih samawi). Sebab baginya era
kenabian adalah masa kanak-kanak -jika Dianalogikan dengan vase pertumbuhan manusia-.
Dimana pada masa tersebut seorang anak selalu mendapatkan pengawasan khusus.
Adapun pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw
menurutnya, manusia sudah mulai menginjak masa dewasa dan sudah mempunyai nalar
yang matang. Sehingga pengawasan secara massif tidak lagi diperlukan. Mereka
sudah bisa mengatasi berbagai problem yang dihadapi menggunakan nalar (al-Aql
al-Istiqrai) dengan bersandar pada wahyu (al-Qur'an dan Hadits). Nalar ini
dulunya belum ada, ia terbentuk melalui pengawasan seorang nabi (Muraqabah
nabawiyyah) yang lambat laun mengalami kematangan.
Cahaya kenabian akan tetap bersinar
dengan upaya ijtihad yang dilakukan manusia sebagai upaya aktualisasi pembacaan
terhadap agama seiring dengan peubahan yang terjadi secara radikal diberbagai
lini. selain karena adat dan budaya kala Nabi Muhammad Saw hidup dan mendapat
wahyu berbeda dengan adat dan budaya manusia modern. tentunya hal ini butuh
kajian dan pembahasan yang mendalam. Dengan ijtihad ajaran islam dapat sesuai
untuk diaplikasikan di segala tempat dan waktu.
Jika demikian, maka upaya menutup pintu
ijtihad dengan dalih apapun tidak bisa dibenarkan. Upaya tersebut hanya akan
memadamkan cahaya nubuwah dan –lebih bahaya lagi- memicu munculnya
nabi-nabi baru yang bisa dipastikan adalah nabi imitasi. Betapa tidak, jika
ijtihad benar-benar ditutup ajaran islam tidak lagi dinamis, tidak lagi bisa
menyapa konteks yang terus berubah. Hingga akhirnya muncul oknum yang mengaku
mendapat wahyu, mengaku bertemu dengan malaikat Jibril, mengaku mendapat ajaran
baru untuk mengeluarkan manusia dari belenggu kesesatan. Hal ini sangat mungkin
terjadi dan mungkin telah terjadi diberbagai Negara yang mayoritas berpenduduk
muslim.
Namun hal ini –hemat penulis- tidak
terlalu membahayakan. Sebab mereka dengan jelas mengaku bahwa dirinya adalah
nabi. Sedangkan pintu kenabian telah tertutup sejak wafatnya nabi Muhammad Saw.
Al-Qur'an dan hadits mengatakannya dengan jelas dan tegas. Sehingga hal
tersebut sudah menancap di dalam hati sanubari umat islam. Dan sulit untuk
menerima orang yang mengaku sebagai nabi.
Sikap mengkafirkan, menghakimi dan
mengeksekusi hanya boleh dilakukan oleh Allah Swt dan Nabi. Manusia tidak
berhak ikut campur dalam masalah ini. Manusia cukup menjadi legislator bukan
sebagai eksekutor. Terlalu lancang kiranya jika memasuki ranah tersebut. hal yang
sangat memprihatinkan adalah tipe-tipe nabi palsu seperti ini sekarang marak
dan berkeliaran dimana-mana. Beraksi atas nama agama, akhirnya muncul stigma
buruk terhadap islam; islam agama teroris, islam agama radikal dan lain
sebagainya.
Fenomena ini membutuhkan penanganan
yang serius. Radikalisasi agama akan membahayakan dan sangat bertentangan dengan
semangat yang dibawa oleh Islam dan Nabi Muhammad Saw. Mereka yang terjebak
dalam kubangan radikalisme sering kali hanya melihat islam dari kulitnya, tanpa
mau masuk dan merasakan isi yang ada didalamnya. Hal ini berawal dari pembacaan
yang tekstual terhadap teks keagamaan. Sehingga pemahaman yang didapat juga
tekstual.
Sudah
selayaknya wajah asli islam yang lentur dan lembut itu dibawa kepermukaan.
Ijtihad dan aktualisasi pembacaan sebisa mungkin dimaksimalkan sehingga maqashid
yang diusung oleh Nabi Muhammad Saw dan Islam bisa tercapai, kedamaian dan
kasih sayang. Wallahu A'lam.
Wednesday, 4 March 2012/12 Jumad al-Awwal 1433
At. 18.44 PM
B-2, H-10, Nasr City, Ciaro
For Afkar Bulletin, PCINU Branch Egypt
ijin nyimak gan informasinya
BalasHapusmenarik dan bermanfaat nih infonya
thanks ya, sukses terus