Kamis, 06 November 2014

Agama, Manusia Dan Kemanusiaan

Oleh: Fahim Khasani

Diantara materi-materi yang lain, disinyalir pembahasan agama adalah yang paling membingungkan dan tidak memiliki ujung. Selain rentan untuk disalah fahami dan acapkali rawan mendapat legitimasi buruk dari yang tidak sepaham. Sebab ia berhubungan erat dengan Tuhan dan hal-hal yang sakral. Berbeda dengan ilmu sosial atau sains misalnya, ketika sebuah teori yang baru ditemukan disinyalir mengandung kesalahan metodologis atau sejenisnya, saintis bisa cukup lega. Tak kan ada yang menuduhnya sebagai musuh ilmu, atau murtad dari pakem saintis yang bisa menjerumuskan dirinya ke dalam praktek pembunuhan yang dilegalkan.

Namun, tak demikian dengan pemikiran agama. Barangkali kesalahan yang sedikit salah-salah bisa mendapat vonis fâsiq, mulhid dan bisa jadi kafir. Malaikat maut pun seakan cepat tanggap mendengar istilah-istilah itu. Tak ada yang memungkiri bahwa agama diturunkan oleh Allah sebagai penunjuk jalan kehidupan. Meski tak banyak yang menyadari bahwa agama bisa dipahami dan dijalankan oleh sebegitu banyak pengikutnya salah satunya adalah hasil kerja nalar manusia. Dengan kata lain, agama adalah teosentris jika ditinjau dari pangkal dan sumber, sekaligus antroposentris jika dipandang dari sisi terapan. Sehingga agama yang manusia pahami saat ini tidak sepenuhnya benda langit yang jatuh ke bumi. Melainkan perpaduan antara unsur ‘langit’ yang sudah membumi, teoantroposentris. [1]Sehingga aksi pengkafiran sebenarnya adalah sikap paling arogan manusia yang mensejajarkan dirinya dengan Tuhan sebagai pemilik hak penuh atas manusia.


Sebagai bukti bahwa agama bersifat teoantroposentris adalah bahwa formula-formula agama tersusun dari tiga pilar yaitu: referensi tekstualis (al-Marji’iyyah al-Nashiyyah), referensi rasionalis (al-Marji’iyyah al-‘Aqliyyah) dan referensi konsensual (al-Marji’iyyah al-Ittifâqiyyah).[2] Ketiganya tak lepas dari unsur manusiawi yang terwakili dalam diri seorang mujtahid dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ia miliki.

Pertama, Pada referensi yang tekstualis misalnya, dalam tradisi ushul fikih ada istilah qath’iy al-Tsubût dan qath’iy al-Dalâlah. Ketika sebuah teks sudah teruji kevaliditasannya, tak semerta-merta langsung bisa diterapkan. Butuh proses memahami dengan menggunakan perangkat-perangkat Mantiq dan bahasa yang tidak mudah. Sebab tabiat bahasa adalah multi tafsir dan ambigu. Sehingga sebelum masuk pada substansi kandungan teks analisa bahasa menjadi sebuah keniscayaan untuk mencari makna pasti yang ia kandung. Dan ini adalah murni penalaran manusia dengan memperhatikan nilai-nilai profetik yang terkandung dalam teks-teks lain sebagai pertimbangan. Sebab tabiat nalar manusia tidak bisa berfikir dari titik nol. Nalar berfikir berdasar pada nilai-nilai yang pernah ia rekam sebelumnya.[3]

Pada titik ini penguasaan mujtahid atas materi-materi agama dan kemampuannya mengolah data dan fakta diuji. Jika benar apa yang ia upayakan akan berganjar dua, jikalaupun salah akan berganjar satu. Mengenai multi tafsir sebuah teks dan ambiguitasnya, Nabi Muhammad Saw telah berpesan: Al-Qur'an dzalǔl, dzu wujǔh, fahmiluhu 'ala ahsani wujǔhihi.[4] Termasuk dalam kategori referensi tekstualis adalah qiyâs, sebab qiyâs akan dianggap sesuai prosedur jika al-Maqîs adalah perkara yang menjadi perhatian teks secara langsung (al-Mansûsh ‘Alaih) dan dihubungkan dengan illat. Dalam mekanismenya, penentuan illat sendiri adalah murni pertimbangan-pertimbangan rasional manusia. Dan ia pun berbeda-beda sesuai dengan standar yang dibakukan oleh madzhab-madzhab yang ada.[5]

Kedua, referensi rasionalis, pilar ini berfungsi untuk memberikan status yang jelas menurut pandangan agama atas sebuah problematika yang tidak termaktub dalam teks-teks agama. Umumnya adalah problematika kontemporer. Atau ketidak jelasan status hukum lantaran kontradiksi hasil ijtihâd antar dua madzhab atau lebih dan mengharuskan tarjîh. Tidak diragukan bahwa dalam tataran ini nalar rasional mendominasi dengan menjadikan nalar-nalar profetik dan maqâshidiy sebagai pertimbangan.[6]

Ketiga, referensi konsensual, pilar ini memiliki dimensi kemanusiaan dengan porsi yang lebih banyak dari kedua pilar di atas. Sebab ia adalah kesepakatan yang dipilih oleh segenap mujtahid pada zaman tertentu. Kecenderungan yang sama yang dimiliki oleh segenap mujtahid itu adalah bukti bahwa pilihan itu manusiawi, fitri. Setiap mereka bisa menerimanya lantaran sesuai dengan fitrah seorang manusia, selain karena mereka memiliki kesepahaman yang sama mengenai nilai-nilai profetik yang terkandung di dalamnya. Bahkan kesepakatan atau ridha menjadi asas inti dalam praktek interaksi sesama manusia (mu’âmalah insâniyyah) seperti dalam praktek jual-beli, pinjam-meminjam, sewa dan lain sebagainya.[7]

Ketiga pilar di atas, sebagai unsur pembangun dalam agama, adalah bukti nyata bahwa agama bukanlah paket siap pakai yang turun dari langit, ahistoris. Akan tetapi, ia mempunyai cerita lahir dan tumbuh berkembang melewati fase-fase tertentu. Sebagaimana komentar M Iqbal yang dikutip oleh Shoroush bahwa agama tumbuh berkembang seperti manusia. Ia mengalami fase kanak-kanak yang lebih menggunakan gharîzah dan fase dewasa yang lebih memfungsikan nalar rasio dan nalar komunal. Fase kanak-kanak ditandai dengan bimbingan penuh oleh Nabi Muhammad Saw dan wahyu yang secara gradual turun. Sedangkan fase dewasa ditandai dengan lahirnya formula-formula sebagai sari pati wahyu yang telah diperas sedemikian rupa dengan menggunakan perangkat nalar.[8]

Demikian, bahwa agama sedari instrumen pembentuknya adalah hubungan berkelit-kelindan antara yang teosentris dan antroposentris atau dalam istilah lain teoantroposentris. Sehingga upaya penafian terhadap dimensi manusia, pada tataran ini sama artinya menghancurkan instrumen pembentuknya. Dan akan menimbulkan efek domino berupa kehancuran agama itu sendiri. Agama tidak akan mempunyai arti jika ia lepas dari dimensi kemanusiaan yang menjadi pilar dan tujuan inti diturunkannya sebuah agama. Agama tanpa kemanusiaan bagaikan manusia tak ber-ruh, sedangkan jika tanpa Tuhan, laksana manusia tak berjasad. Sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan.

Menarik analogi yang digunakan oleh M Iqbal dalam menggambarkan fase perkembangan agama. Islam perdana lebih mengandalkan gharîzah dalam menjelaskan hakikat agama. Artinya agama diajarkan secara fitrah dan penuh dengan nilai-nilai profetik yang sarat dengan dimensi kemanusiaan. Pemaknaan seperti ini juga digunakan oleh al-Ghazali dalam mendedah makna al-Aql sebagai sebuah potensi yang dimiliki manusia untuk bisa menangkap nilai-nilai positif.[9] Al-Ghazali dalam hal ini terilhami oleh definisi al-Muhasibiy atas al-AqlAl-Aql sebagai perangkat yang fitri dan gharîzy yang melekat dalam diri manusia untuk beriman dan keyakinan. Mengenai al-Aql, al-Muhasibiy berujar: setiap orang yang zuhud, kualitas zuhud yang ia jalankan sesuai dengan kadar ma’rifat. Dan kadar ma’rifatnya sesuai dengan kualitas akalnya. Adapun akalnya sesuai dengan kualitas imannya.[10] Kurang lebih demikian kondisi Islam di era perdana.

Tak diragukan bahwa pertemuan langsung dengan sang Nabi Muhammad Saw menyisakan rasa tersendiri di hati para sahabat. Terlabih dalam transformasi ilmu, laku dan etika. Mereka menerimanya langsung tanpa perantara. Nilai-nilai profetik berikut emanasi cahaya wahyu-kenabian bisa dirasakan secara langsung. Nilai-nilai tersebut langsung masuk dan terpatri dalam hati. Sehingga tidak heran jika Nabi Muhammad Saw bertutur bahwa kurun paling baik adalah kurun saat beliau masih hidup.

Adapun masa setelahnya, manusia hanya bisa mengais nilai-nilai profetik melalui teks-teks agama dan kisah-kisah hidup Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak mendapati cahaya wahyu-kenabian dan nilai profetik yang hidup. Mereka memasukkannya ke dalam nalar terlebih dahulu untuk proses filterisasi, baru kemudian dimasukkan ke dalam hati. M Iqbal menganologikan dengan fase dewasa pada manusia. Dalam artian, nalar istiqraiy menjadi tumpuan dalam memahami agama. Ilmu pun satu persatu bermunculan sebagai perangkat untuk mengupas dan mengambil sari pati wahyu. Ilmu tak lebih sebagai alat bantu. Sebagaimana manusia, seiring dengan perkembangan mesin pembantu yang bermacam-macam, manusia semakin lemah kehilangan skill terberi yang ada dalam diri. Hal ini tak jauh beda dengan pengalaman beragama.

Jika posisi ilmu adalah sebagai alat bantu, maka ilmu tidak bisa digunakan sebagai tolak ukur kesalehan dan keberagaman seseorang. Ilmu Kalam misalnya, teori-teori yang rumit tentang Tuhan tidak menjadikan mereka yang mahir mengotak-atik logika lebih beriman ketimbang orang-orang biasa yang hanya tahu tentang ilmu kalam ala kadarnya. Bahkan tak jarang para pengkaji dibikin pusing oleh teori-teori yang lumayan jelimet itu. Imam al-Juwaini misalnya, pada titik jenuhnya dalam merasionalkan Dzat Allah dengan nada menyesal ia berkata: aku sudah membaca sebanyak 50.000 dikali 50.000, pun intens berdiskusi dengan para pakar, bercengkerama dengan pengalaman dan pemikiran-pemikiran mereka, aku telah mengarungi arus yang -sebenarnya- dilarang oleh syar’, semuanya ku lakukan demi menggapai sebuah kebenaran, menghindari taqlid dan pembebekan. Namun sekarang, nampaknya aku harus mengamini adagium: hendaknya kalian beragama layaknya orang-orang awam itu,  dan celakalah bagi al-Juwaini ini jika tidak disambut Allah dengan sifat lathifNya. Statemen yang sama juga keluar dari mulut Fakhr al-Din al-Razi, seorang Mutakallim, Mufassir, Ushuly yang sangat terkenal itu. Dipenghujung hidupnya, beliau berkata: ya Allah, semoga engkau menganugrahiku iman layaknya iman orang-orang awam. Al-Sahrastaniy juga mengalami hal serupa.[11]

Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka adalah hal yang logis. Sebab berfikir, teorisasi dan merumuskan obyek tertentu adalah pekerjaan nalar logis. Adapun iman dan yakin adalah urusan hati. Dan hal ini pun sebenarnya juga pernah menjadi obyek diskusi para teolog klasik tentang relasi keimanan, ilmu dan logika. Mayoritas dari mereka berkesimpulan bahwa menggunakan logika mantiq bukan merupakan kewajiban, pun bukan menjadi syarat keimanan seseorang.[12] Barangkali Tuhan cukup adil dengan menjadikan iman tidak tergantung pada kecerdasan melainkan ketulusan. Sebab tak semuanya mampu menaklukan teori-teori ilmu kalam yang rumit itu, toh juga hasil olah pikir manusia sendiri.

Hal yang sangat lucu kiranya jika mengklaim yang lain sebagai kafir, hanya karena terjebak pada istilah-istilah yang memang rumit untuk dipahami. Apalagi hingga menghalalkan darah dan melegalkan pembunuhan atas dasar perbedaan pemahaman. Sebuah fenomena konyol yang akhir-akhir ini mulai marak, terlebih setelah bahasa agama dipaksa ikut menyemarakkan panggung politik.

Meski demikian, bukan berarti tulisan ini mengajak untuk meninggalkan ilmu Kalam serta membuangnya jauh-jauh. Tidak, bukan itu yang penulis inginkan. Ilmu Kalam sangat penting bagi eksistensi agama. Ia bisa dibilang benteng yang melindungi agama dari pengaruh-pengaruh destruktif yang membahayakan. Ia pun juga menjadi sarana untuk mengenal Tuhan dan menjadikan agama sesuatu yang logis dan rasional. Di sini penulis hanya ingin menegaskan bahwa agama itu adalah fitrah dan naluri alamiah manusia. Ia tidak bisa dibohongi, sehingga upaya-upaya untuk menghilangkan rasa keberagamaan dari dalam diri manusia hanyalah sia-sia.

Selanjutnya, seiring kedewasaan agama, nalar dan perangkat-perangkat lainnya berkembang. Masalah pun juga berkembang dan semakin rumit. Ketidaksiapan perangkat pembantu agama dalam menyambut berbagai perubahan dan problem membuat agama mengalami masa ‘galau’. Pada titik ini agama diuji, selain harus mencari solusi, ia harus sabar dan jeli dalam menanggapi. Penanganan secara radikal- baik kiri atau kanan- hanya akan menimbulkan preseden buruk bagi diri agama itu sendiri. Situasi yang demikian mengharuskannya untuk lebih mengingat-ingat lagi semangat dan nilai-nilai profetik yang mendasari agama.

Di sini agama seringkali terjerat dengan rumus-rumus yang dibuatnya sendiri yang terhimpun dalam ilmu-ilmu Islam. Terlalu memfokuskan diri pada sebuah cara, sehingga melupakan tujuan dan substansi. Politisasi, fanatisme dan salah persepsi adalah faktor yang paling banyak membuat agama mengalami kegalauan yang luar biasa. Untuk meminimalisir tiga hal yang menjadi benalu itu, nilai-nilai profetik perlu dihidupkan kembali dan disuarakan keluar. Sebab hubungan antara nilai-nilai profetik dengan ketiga benalu tadi mirip dua magnet dengan kutub yang berbeda, tidak akan berkumpul. keduanya sudah berbeda sedari tujuan yang paling primordial.

Bagi penulis, antara nilai profetik, kemanusiaan dan kebenaran dalam agama memiliki hubungan yang berkelit-kelindan. Nilai profetik mempunyai impian besar memperbaiki moral-etik manusia[13] dan sebagai rahmat bagi alam semesta.[14] Adapun kemanusiaan dan kebenaran sebenarnya sudah terangkum dalam nilai-nilai profetik. Hanya saja keduanya memiliki spesifikasi dalam obyek yang akan menjadi ladang garapnya. Kemanusiaan berfungsi untuk menjaga manusia dengan berbagai dimensi yang ia miliki, agar tetap menjadi manusia dengan segala pemaknaannya. Sedangkan kebenaran berupaya untuk menggapai kebaikan melalui jalan yang legal dalam kaca mata agama.

Oleh karenanya, hal-hal yang bersifat ijtihâdi dalam agama minimal harus mencakup ketiga aspek tersebut. Dan ketika hukum atau sikap yang dinisbatkan kepada agama tidak merangkum ketiganya atau bahkan bertolak belakang, maka sangat perlu untuk dikaji ulang kembali. Persoalan-persoalan semacam ini pula yang menginspirasi para cendekiawan untuk menggagas ilmu maqashid al-Syari’ah. Demi menjaga nilai-nilai profetik dan kemanusiaan dalam sebuah agama, maslahat.  Para cendekiawan menyebutkan bahwa maslahat bisa terwujud apabila lima unsur terpenuhi: hifdz al-Dîn, hifdz al-Nafs, hifdz al-Aql, hifdz al-Nasl dan hifdz al-Mâl. Dengan tegas Al-Ghazaliy mengatakan: segala yang bisa mengakomodir kelima dasar ini adalah maslahat, dan yang menafikannya adalah mafsadah. Adapun menghilangkan mafsadah adalah sebentuk tindakan untuk mencapai mashlahat.[15]

Namun dalam prakteknya, dimensi kemanusiaan masih saja terlupakan. Barangkali hal semacam ini bukan kesalahan konseptor, melainkan lebih dikarenakan pemahaman yang tidak utuh. Hifdz al-Dîn menempati urutan pertama dalam penyebutan, baru kemudian hifdz al-Nafs. Hal ini sering dipahami sebagai prioritas agama atas manusia, jika harus memilih manusia atau agama. Sehingga konsep maqashid al-Syari’ah tidak menjadi solusi bagi konflik berlatar belakang membela Tuhan. Malah menjadi alasan baru untuk melegalkan kekerasan atas nama Tuhan. Padahal tidak demikian, agama lebih didahulukan lantaran aspek teosentris yang ia kandung. Cendekiawan-cendekiawan klasik menghormati hal-hal semacam ini sebagai bentuk etika. Hal yang sama juga mereka lakukan ketika menyebutkan rincian mashâdir al-Tasyrî’. Dalam literatur Ushul fikih atau ilmu apapun, Al-Qur’an pasti didahulukan, baru kemudian Hadis dan seterusnya.

Tesis ini bukan tanpa dalil, meskipun agama dengan segala sakralitas yang ia miliki merupakan unsur yang penting, namun ketika dihadapkan dengan nyawa manusia maka nyawa akan menjadi lebih penting. Sebab ia adalah sebab atas hadirnya agama. Tanpa ada nyawa, agama tak lagi berguna. Hal ini diilhami dan dikuatkan dengan hadis: menghancurkan ka’bah, bagi Allah Swt lebih mudah dari pada melihat pertumpahan darah seorang mu’min.[16] Ka’bah dalam hadits tersebut bisa dipahami sebagai simbol agama. Lebih lanjut Izzuddin bin Abd al-Salam mengemukakan kaidah: shihhat al-Abdân muqaddamah ala shihhat al-Adyân. Sebagai rumusan yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan.

Sebagain cendekiawan menilai bahwa panca maqashid al-Syari’ah tidaklah mencakup dan mewakili maslahat. Karena dalam mekanisme dan terapannya lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat dzahir dan materi. Sehingga acapkali nilai-nilai ruhiyah dan spiritual terabaikan. Diantaranya yang paling lantang menyuarakan hal ini adalah Ibn Taimiyah. Ia menilai maslahat hati dan mafsadahnya belum terwakili, pun dengan hal-hal yang mereduksi keimanan manusia. Ia bertutur: inna mashlahat al-Badan muqaddamah ‘ala mashlahat al-Mâl, wa mashlahat al-Qulûb muqaddamah ‘ala mashlahat al-Badan.[17] Barangkali benar apa yang diusulkan oleh Ibn Taimiyyah, tapi siapakah kiranya yang bisa memformulasikan perihal hati. sedangkan maslahah yang dibahas dalam ilmu maqashid adalah maslahat yang bersifat waqi’iy, bukan maslahat dalam haqiqat al-Amr. Memang urusan hati selalu menjadi misteri tersendiri yang tak bisa diformulasikan. Bukankah Imam Al-Juwainiy, Fakhr al-Din al-Razi, Al-Shahrastaniy dan punggawa ilmu Kalam yang lain sudah mengaku tumpul dihadapan hati. terlebih yang berhubungan dengan keimanan dan kepercayaan. Hal semacam ini lebih pas bila diserahkan pada ilmu Tasawuf yang cenderung tidak hitam putih. Toh dalam berbagai pembahasan tentang ritual shalat, puasa, haji dan yang lainnya, meski suasana hati menentukan kualitas, tapi tidak ada batasan-batasan tertentu yang mengatur hati. kecuali niat, itupun yang sifatnya lahir.

Dari berbagai postulat-postulat di atas bisa disimpulkan bahwa kebenaran dalam perspektif agama dibagi menjadi dua macam; kebenaran agama dan kebenaran beragama. Kebenaran agama sifatnya tunggal, universal, abadi dan permanen. Sebab ia berhubungan langsung dengan Tuhan sebagai asal dari agama. Adapun kebenaran beragama cenderung plural, berubah-ubah, temporal dan tidak permanen. Sebab ia bersinggungan dengan manusia, sehingga ada dimensi kemanusiaan yang harus dipertahankan. Perubahan yang terjadi pun harus dilandaskan pada nilai-nilai profetik dan kemanusiaan yang menjadi tujuan agama itu sendiri.  Hubungan yang terjalin antara kedua kebenaran ini lebih mirip hubungan ta’alluq dan teori al-Hukm yang ada pada tradisi ilmu Ushul fikih. Dengan kata lain, kebenaran agama adalah kebenaran yang sudah sejak zaman azali. Dan kebenaran beragama merupakan muta’alliqât-nya yang terpaku pada zaman, tempat dan manusia.

Dengan demikian, kebenaran dalam agama tidak bisa ditentukan melalui warna, posisi, kelas dan kelompok tertentu. Ia bisa hinggap di mana saja selama nilai profetik, kemanusiaan dan kebenaran terjaga. Sektarianisasi, klasifikasi, legalisasi, formalisasi dan memberi warna pada kebenaran adalah upaya untuk merusak kebenaran itu sendiri. Ketika pola tertentu diyakini mengandung kebenaran, lantas disahkan dan dipatenkan, maka saat itulah awal dari kesalahan. Sebab kebenaran ada bersama nilai profetik dan kemanusiaan, ia terus berganti-ganti pola seiring dengan perubahan zaman dan dunia. Wallahu A'lam




[1]   Sa’d Al-Din Al-Hilaliy, Al-Islâm wa Insâniyyat al-Daulah, Al-Haiah al-Mishriyah al-‘Amah li al-Kitab, Kairo, Cet. I, 2012, h. 54-55
[2]  Ibid.,
[3]  Abdul Halim Mahmoud, Al-Islâm wa Al-‘Aql, Dar al-Maaref, Cet. V, 2008, h. 15
[4] Sunan Al-Daruquthny, No; 3755
[5]  Lebih lanjut:  Jamaluddin al-Asnawiy, Nihâyat Al-Suul fi Syarh Manhaj Al-Wushûl ila Ilm Al-Ushûl, Vol: II, h. 835-836
[6] Sa’d Al-Din Al-Hilaliy, Al-Islâm wa Insâniyyat al-Daulah, Op. Cit., h. 73
[7]  Ibid., h. 70-71
[8]  Abdul Karim Soroush, Basth Al-Tajribah Al-Nabawiyyah, Terj: Ahmad Al-Qabanjiy, Dar al-Fikr al-Jadid, Baghdad, 2006, h. 186-187
[9]  Abu Hamid Al-Ghazaliy, Ihya Ulûm Al-Dîn, Vol: I, Dar al-Rayyan li al-Turats, Cet: I, 1987, h. 101
[10] Al-Harits Al-Muhasibiy, Al-‘Aql wa Fahm Al-Qur’an, Peny: Husein Al-Qautiliy, Dar al-Kindi, Beirut, Cet: II, 1982, h. 134-135
[11] Al-Amir Abdul Qadir Al-Jazairiy, Al-Mawaqif fi Al-Tasawuf wa Al-Wa’dz wa Al-Irsyad, Vol: II, Al-Haiah al-‘Amah li Qushur al-Tsaqafah, Kairo, 2011, h. 50

[12] Muhammd bin ‘Irfah Al-Dasuqiy, Hasyiah ‘Ala Syarh Umm Al-Barâhin, Mathba’ah Musthafa al-Babiy al-Halabiy, Kairo, Cet terakhir, tt, h. 57
[13]  انما بعثت لأتمم صالح الأخلاق (رواه أحمد)
[14]  Qs 21:107  وَما أَرسَلنٰكَ إِلّا رَحمَةً لِلعٰلَمينَ
[15]  Abu Hamid Al-Ghazaliy, Al-Mustashfa Fi Ilm al-Ushul, Vol: II, Dar al-Fikr, Beirut, tt, h.
[16] Hadits Marfu’ bi al-Ma’na, HR Al-Thabrani
[17]Ahmad Al-Raisuni, Al-Kulliyât Al-Asâsiyyah li Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, Dar al-Salam, Kairo, Cet: I, 2010, h. 96-99 

1 komentar:

  1. ijin nyimak gan informasinya
    menarik dan bermanfaat nih infonya
    thanks ya, sukses terus

    BalasHapus

ketik komentar anda, pilih name/URL, masukkan nama, dan klik poskan komentar