Agama, Manusia Dan Kemanusiaan
Oleh: Fahim Khasani
Diantara materi-materi yang lain, disinyalir pembahasan agama adalah
yang paling membingungkan dan tidak memiliki ujung. Selain rentan untuk disalah
fahami dan acapkali rawan mendapat legitimasi buruk dari yang tidak sepaham.
Sebab ia berhubungan erat dengan Tuhan dan hal-hal yang sakral. Berbeda dengan
ilmu sosial atau sains misalnya, ketika sebuah teori yang baru ditemukan
disinyalir mengandung kesalahan metodologis atau sejenisnya, saintis bisa cukup
lega. Tak kan
ada yang menuduhnya sebagai musuh ilmu, atau murtad dari pakem saintis yang
bisa menjerumuskan dirinya ke dalam praktek pembunuhan yang dilegalkan.
Namun, tak demikian dengan pemikiran agama. Barangkali kesalahan yang
sedikit salah-salah bisa mendapat vonis fâsiq, mulhid dan bisa
jadi kafir. Malaikat maut pun seakan cepat tanggap mendengar istilah-istilah
itu. Tak ada yang memungkiri bahwa agama diturunkan oleh Allah sebagai penunjuk
jalan kehidupan. Meski tak banyak yang menyadari bahwa agama bisa dipahami dan
dijalankan oleh sebegitu banyak pengikutnya salah satunya adalah hasil kerja
nalar manusia. Dengan kata lain, agama adalah teosentris jika ditinjau dari
pangkal dan sumber, sekaligus antroposentris jika dipandang dari sisi terapan.
Sehingga agama yang manusia pahami saat ini tidak sepenuhnya benda langit yang
jatuh ke bumi. Melainkan perpaduan antara unsur ‘langit’ yang sudah membumi,
teoantroposentris.
[1]Sehingga aksi pengkafiran sebenarnya adalah sikap paling arogan manusia
yang mensejajarkan dirinya dengan Tuhan sebagai pemilik hak penuh atas manusia.
Sebagai bukti bahwa agama bersifat teoantroposentris adalah bahwa
formula-formula agama tersusun dari tiga pilar yaitu: referensi tekstualis (al-Marji’iyyah
al-Nashiyyah), referensi rasionalis (al-Marji’iyyah al-‘Aqliyyah)
dan referensi konsensual (al-Marji’iyyah al-Ittifâqiyyah).[2] Ketiganya tak
lepas dari unsur manusiawi yang terwakili dalam diri seorang mujtahid
dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ia miliki.
Pertama, Pada referensi yang tekstualis misalnya, dalam
tradisi ushul fikih ada istilah qath’iy al-Tsubût dan qath’iy al-Dalâlah.
Ketika sebuah teks sudah teruji kevaliditasannya, tak semerta-merta langsung
bisa diterapkan. Butuh proses memahami dengan menggunakan perangkat-perangkat Mantiq
dan bahasa yang tidak mudah. Sebab tabiat bahasa adalah multi tafsir dan
ambigu. Sehingga sebelum masuk pada substansi kandungan teks analisa bahasa
menjadi sebuah keniscayaan untuk mencari makna pasti yang ia kandung. Dan ini
adalah murni penalaran manusia dengan memperhatikan nilai-nilai profetik yang
terkandung dalam teks-teks lain sebagai pertimbangan. Sebab tabiat nalar
manusia tidak bisa berfikir dari titik nol. Nalar berfikir berdasar pada
nilai-nilai yang pernah ia rekam sebelumnya.[3]
Pada titik ini penguasaan mujtahid atas materi-materi agama dan
kemampuannya mengolah data dan fakta diuji. Jika benar apa yang ia upayakan
akan berganjar dua, jikalaupun salah akan berganjar satu. Mengenai multi tafsir
sebuah teks dan ambiguitasnya, Nabi Muhammad Saw telah berpesan: Al-Qur'an dzalǔl, dzu wujǔh,
fahmiluhu 'ala ahsani wujǔhihi.[4] Termasuk dalam
kategori referensi tekstualis adalah qiyâs, sebab qiyâs akan
dianggap sesuai prosedur jika al-Maqîs adalah perkara yang menjadi
perhatian teks secara langsung (al-Mansûsh ‘Alaih) dan dihubungkan
dengan illat. Dalam mekanismenya, penentuan illat sendiri adalah murni
pertimbangan-pertimbangan rasional manusia. Dan ia pun berbeda-beda sesuai
dengan standar yang dibakukan oleh madzhab-madzhab yang ada.[5]
Kedua, referensi rasionalis,
pilar ini berfungsi untuk memberikan status yang jelas menurut pandangan agama
atas sebuah problematika yang tidak termaktub dalam teks-teks agama. Umumnya
adalah problematika kontemporer. Atau ketidak jelasan status hukum lantaran
kontradiksi hasil ijtihâd antar dua madzhab atau lebih dan mengharuskan tarjîh.
Tidak diragukan bahwa dalam tataran ini nalar rasional mendominasi dengan
menjadikan nalar-nalar profetik dan maqâshidiy sebagai pertimbangan.[6]
Ketiga, referensi konsensual,
pilar ini memiliki dimensi kemanusiaan dengan porsi yang lebih banyak dari
kedua pilar di atas. Sebab ia adalah kesepakatan yang dipilih oleh segenap
mujtahid pada zaman tertentu. Kecenderungan yang sama yang dimiliki oleh segenap
mujtahid itu adalah bukti bahwa pilihan itu manusiawi, fitri. Setiap mereka
bisa menerimanya lantaran sesuai dengan fitrah seorang manusia, selain karena
mereka memiliki kesepahaman yang sama mengenai nilai-nilai profetik yang
terkandung di dalamnya. Bahkan kesepakatan atau ridha menjadi asas inti dalam
praktek interaksi sesama manusia (mu’âmalah insâniyyah) seperti dalam
praktek jual-beli, pinjam-meminjam, sewa dan lain sebagainya.[7]
Ketiga pilar di atas,
sebagai unsur pembangun dalam agama, adalah bukti nyata bahwa agama bukanlah
paket siap pakai yang turun dari langit, ahistoris. Akan tetapi, ia mempunyai
cerita lahir dan tumbuh berkembang melewati fase-fase tertentu. Sebagaimana
komentar M Iqbal yang dikutip oleh Shoroush bahwa agama tumbuh berkembang
seperti manusia. Ia mengalami fase kanak-kanak yang lebih menggunakan gharîzah
dan fase dewasa yang lebih memfungsikan nalar rasio dan nalar komunal. Fase
kanak-kanak ditandai dengan bimbingan penuh oleh Nabi Muhammad Saw dan wahyu
yang secara gradual turun. Sedangkan fase dewasa ditandai dengan lahirnya
formula-formula sebagai sari pati wahyu yang telah diperas sedemikian rupa
dengan menggunakan perangkat nalar.[8]
Demikian, bahwa agama
sedari instrumen pembentuknya adalah hubungan berkelit-kelindan antara yang
teosentris dan antroposentris atau dalam istilah lain teoantroposentris.
Sehingga upaya penafian terhadap dimensi manusia, pada tataran ini sama artinya
menghancurkan instrumen pembentuknya. Dan akan menimbulkan efek domino berupa
kehancuran agama itu sendiri. Agama tidak akan mempunyai arti jika ia lepas
dari dimensi kemanusiaan yang menjadi pilar dan tujuan inti diturunkannya
sebuah agama. Agama tanpa kemanusiaan bagaikan manusia tak ber-ruh, sedangkan
jika tanpa Tuhan, laksana manusia tak berjasad. Sehingga keduanya tidak bisa
dipisahkan.
Menarik analogi yang
digunakan oleh M Iqbal dalam menggambarkan fase perkembangan agama. Islam
perdana lebih mengandalkan gharîzah dalam menjelaskan hakikat agama. Artinya
agama diajarkan secara fitrah dan penuh dengan nilai-nilai profetik yang sarat
dengan dimensi kemanusiaan. Pemaknaan seperti ini juga digunakan oleh
al-Ghazali dalam mendedah makna al-Aql sebagai sebuah potensi yang
dimiliki manusia untuk bisa menangkap nilai-nilai positif.[9] Al-Ghazali
dalam hal ini terilhami oleh definisi al-Muhasibiy atas al-Aql. Al-Aql sebagai perangkat yang fitri
dan gharîzy yang melekat dalam diri manusia untuk beriman dan keyakinan.
Mengenai al-Aql, al-Muhasibiy berujar: setiap orang yang zuhud, kualitas
zuhud yang ia jalankan sesuai dengan kadar ma’rifat. Dan kadar ma’rifatnya
sesuai dengan kualitas akalnya. Adapun akalnya sesuai dengan kualitas imannya.[10] Kurang lebih
demikian kondisi Islam di era perdana.
Tak diragukan bahwa
pertemuan langsung dengan sang Nabi Muhammad Saw menyisakan rasa tersendiri di
hati para sahabat. Terlabih dalam transformasi ilmu, laku dan etika. Mereka
menerimanya langsung tanpa perantara. Nilai-nilai profetik berikut emanasi
cahaya wahyu-kenabian bisa dirasakan secara langsung. Nilai-nilai tersebut
langsung masuk dan terpatri dalam hati. Sehingga tidak heran jika Nabi Muhammad
Saw bertutur bahwa kurun paling baik adalah kurun saat beliau masih hidup.
Adapun masa setelahnya,
manusia hanya bisa mengais nilai-nilai profetik melalui teks-teks agama dan
kisah-kisah hidup Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak mendapati cahaya
wahyu-kenabian dan nilai profetik yang hidup. Mereka memasukkannya ke dalam
nalar terlebih dahulu untuk proses filterisasi, baru kemudian dimasukkan ke
dalam hati. M Iqbal menganologikan dengan fase dewasa pada manusia. Dalam
artian, nalar istiqraiy menjadi tumpuan dalam memahami agama. Ilmu pun
satu persatu bermunculan sebagai perangkat untuk mengupas dan mengambil sari
pati wahyu. Ilmu tak lebih sebagai alat bantu. Sebagaimana manusia, seiring
dengan perkembangan mesin pembantu yang bermacam-macam, manusia semakin lemah
kehilangan skill terberi yang ada dalam diri. Hal ini tak jauh beda dengan
pengalaman beragama.
Jika posisi ilmu adalah
sebagai alat bantu, maka ilmu tidak bisa digunakan sebagai tolak ukur kesalehan
dan keberagaman seseorang. Ilmu Kalam misalnya, teori-teori yang rumit tentang
Tuhan tidak menjadikan mereka yang mahir mengotak-atik logika lebih beriman
ketimbang orang-orang biasa yang hanya tahu tentang ilmu kalam ala kadarnya.
Bahkan tak jarang para pengkaji dibikin pusing oleh teori-teori yang lumayan
jelimet itu. Imam al-Juwaini misalnya, pada titik jenuhnya dalam merasionalkan
Dzat Allah dengan nada menyesal ia berkata: aku sudah membaca sebanyak
50.000 dikali 50.000, pun intens berdiskusi dengan para pakar, bercengkerama
dengan pengalaman dan pemikiran-pemikiran mereka, aku telah mengarungi arus
yang -sebenarnya- dilarang oleh syar’, semuanya ku lakukan demi menggapai
sebuah kebenaran, menghindari taqlid dan pembebekan. Namun sekarang, nampaknya
aku harus mengamini adagium: hendaknya kalian beragama layaknya orang-orang
awam itu, dan celakalah bagi al-Juwaini
ini jika tidak disambut Allah dengan sifat lathifNya. Statemen yang sama
juga keluar dari mulut Fakhr al-Din al-Razi, seorang Mutakallim, Mufassir,
Ushuly yang sangat terkenal itu. Dipenghujung hidupnya, beliau berkata: ya
Allah, semoga engkau menganugrahiku iman layaknya iman orang-orang awam.
Al-Sahrastaniy juga mengalami hal serupa.[11]
Sebenarnya apa yang
terjadi pada mereka adalah hal yang logis. Sebab berfikir, teorisasi dan
merumuskan obyek tertentu adalah pekerjaan nalar logis. Adapun iman dan yakin
adalah urusan hati. Dan hal ini pun sebenarnya juga pernah menjadi obyek
diskusi para teolog klasik tentang relasi keimanan, ilmu dan logika. Mayoritas
dari mereka berkesimpulan bahwa menggunakan logika mantiq bukan merupakan
kewajiban, pun bukan menjadi syarat keimanan seseorang.[12] Barangkali
Tuhan cukup adil dengan menjadikan iman tidak tergantung pada kecerdasan
melainkan ketulusan. Sebab tak semuanya mampu menaklukan teori-teori ilmu kalam
yang rumit itu, toh juga hasil olah pikir manusia sendiri.
Hal yang sangat lucu kiranya jika mengklaim yang lain sebagai kafir,
hanya karena terjebak pada istilah-istilah yang memang rumit untuk dipahami.
Apalagi hingga menghalalkan darah dan melegalkan pembunuhan atas dasar
perbedaan pemahaman. Sebuah fenomena konyol yang akhir-akhir ini mulai marak,
terlebih setelah bahasa agama dipaksa ikut menyemarakkan panggung politik.
Meski demikian, bukan berarti tulisan ini mengajak untuk meninggalkan
ilmu Kalam serta membuangnya jauh-jauh. Tidak, bukan itu yang penulis inginkan.
Ilmu Kalam sangat penting bagi eksistensi agama. Ia bisa dibilang benteng yang
melindungi agama dari pengaruh-pengaruh destruktif yang membahayakan. Ia pun
juga menjadi sarana untuk mengenal Tuhan dan menjadikan agama sesuatu yang
logis dan rasional. Di sini penulis hanya ingin menegaskan bahwa agama itu
adalah fitrah dan naluri alamiah manusia. Ia tidak bisa dibohongi, sehingga upaya-upaya
untuk menghilangkan rasa keberagamaan dari dalam diri manusia hanyalah sia-sia.
Selanjutnya, seiring kedewasaan agama, nalar dan perangkat-perangkat
lainnya berkembang. Masalah pun juga berkembang dan semakin rumit.
Ketidaksiapan perangkat pembantu agama dalam menyambut berbagai perubahan dan
problem membuat agama mengalami masa ‘galau’. Pada titik ini agama diuji,
selain harus mencari solusi, ia harus sabar dan jeli dalam menanggapi. Penanganan
secara radikal- baik kiri atau kanan- hanya akan menimbulkan preseden buruk
bagi diri agama itu sendiri. Situasi yang demikian mengharuskannya untuk lebih
mengingat-ingat lagi semangat dan nilai-nilai profetik yang mendasari agama.
Di sini agama seringkali terjerat dengan rumus-rumus yang dibuatnya sendiri
yang terhimpun dalam ilmu-ilmu Islam. Terlalu memfokuskan diri pada sebuah
cara, sehingga melupakan tujuan dan substansi. Politisasi, fanatisme dan salah
persepsi adalah faktor yang paling banyak membuat agama mengalami kegalauan
yang luar biasa. Untuk meminimalisir tiga hal yang menjadi benalu itu,
nilai-nilai profetik perlu dihidupkan kembali dan disuarakan keluar. Sebab
hubungan antara nilai-nilai profetik dengan ketiga benalu tadi mirip dua magnet
dengan kutub yang berbeda, tidak akan berkumpul. keduanya sudah berbeda sedari
tujuan yang paling primordial.
Bagi penulis, antara nilai profetik, kemanusiaan dan kebenaran dalam
agama memiliki hubungan yang berkelit-kelindan. Nilai profetik mempunyai impian
besar memperbaiki moral-etik manusia[13] dan sebagai
rahmat bagi alam semesta.[14] Adapun
kemanusiaan dan kebenaran sebenarnya sudah terangkum dalam nilai-nilai
profetik. Hanya saja keduanya memiliki spesifikasi dalam obyek yang akan
menjadi ladang garapnya. Kemanusiaan berfungsi untuk menjaga manusia dengan berbagai
dimensi yang ia miliki, agar tetap menjadi manusia dengan segala pemaknaannya.
Sedangkan kebenaran berupaya untuk menggapai kebaikan melalui jalan yang legal
dalam kaca mata agama.
Oleh karenanya, hal-hal yang bersifat ijtihâdi dalam agama minimal
harus mencakup ketiga aspek tersebut. Dan ketika hukum atau sikap yang
dinisbatkan kepada agama tidak merangkum ketiganya atau bahkan bertolak
belakang, maka sangat perlu untuk dikaji ulang kembali. Persoalan-persoalan
semacam ini pula yang menginspirasi para cendekiawan untuk menggagas ilmu
maqashid al-Syari’ah. Demi menjaga nilai-nilai profetik dan kemanusiaan dalam
sebuah agama, maslahat. Para
cendekiawan menyebutkan bahwa maslahat bisa terwujud apabila lima unsur terpenuhi: hifdz al-Dîn, hifdz
al-Nafs, hifdz al-Aql, hifdz al-Nasl dan hifdz al-Mâl. Dengan tegas
Al-Ghazaliy mengatakan: segala yang bisa mengakomodir kelima dasar ini
adalah maslahat, dan yang menafikannya adalah mafsadah. Adapun menghilangkan
mafsadah adalah sebentuk tindakan untuk mencapai mashlahat.[15]
Namun dalam prakteknya, dimensi kemanusiaan masih saja terlupakan.
Barangkali hal semacam ini bukan kesalahan konseptor, melainkan lebih
dikarenakan pemahaman yang tidak utuh. Hifdz al-Dîn menempati urutan
pertama dalam penyebutan, baru kemudian hifdz al-Nafs. Hal ini sering
dipahami sebagai prioritas agama atas manusia, jika harus memilih manusia atau
agama. Sehingga konsep maqashid al-Syari’ah tidak menjadi solusi bagi konflik
berlatar belakang membela Tuhan. Malah menjadi alasan baru untuk melegalkan
kekerasan atas nama Tuhan. Padahal tidak demikian, agama lebih didahulukan
lantaran aspek teosentris yang ia kandung. Cendekiawan-cendekiawan klasik
menghormati hal-hal semacam ini sebagai bentuk etika. Hal yang sama juga mereka
lakukan ketika menyebutkan rincian mashâdir al-Tasyrî’. Dalam literatur Ushul
fikih atau ilmu apapun, Al-Qur’an pasti didahulukan, baru kemudian Hadis dan
seterusnya.
Tesis ini bukan tanpa dalil, meskipun agama dengan segala sakralitas
yang ia miliki merupakan unsur yang penting, namun ketika dihadapkan dengan
nyawa manusia maka nyawa akan menjadi lebih penting. Sebab ia adalah sebab atas
hadirnya agama. Tanpa ada nyawa, agama tak lagi berguna. Hal ini diilhami dan
dikuatkan dengan hadis: menghancurkan ka’bah, bagi Allah Swt lebih mudah
dari pada melihat pertumpahan darah seorang mu’min.[16] Ka’bah dalam
hadits tersebut bisa dipahami sebagai simbol agama. Lebih lanjut Izzuddin bin
Abd al-Salam mengemukakan kaidah: shihhat al-Abdân muqaddamah ala shihhat
al-Adyân. Sebagai rumusan yang harus dipertimbangkan dalam mengambil
keputusan.
Sebagain cendekiawan menilai bahwa panca maqashid al-Syari’ah tidaklah
mencakup dan mewakili maslahat. Karena dalam mekanisme dan terapannya lebih
mengarah pada hal-hal yang bersifat dzahir dan materi. Sehingga acapkali
nilai-nilai ruhiyah dan spiritual terabaikan. Diantaranya yang paling lantang
menyuarakan hal ini adalah Ibn Taimiyah. Ia menilai maslahat hati dan
mafsadahnya belum terwakili, pun dengan hal-hal yang mereduksi keimanan
manusia. Ia bertutur: inna mashlahat al-Badan muqaddamah ‘ala mashlahat al-Mâl,
wa mashlahat al-Qulûb muqaddamah ‘ala mashlahat al-Badan.[17]
Barangkali benar apa yang diusulkan oleh Ibn Taimiyyah, tapi siapakah kiranya
yang bisa memformulasikan perihal hati. sedangkan maslahah yang dibahas dalam
ilmu maqashid adalah maslahat yang bersifat waqi’iy, bukan maslahat
dalam haqiqat al-Amr. Memang urusan hati selalu menjadi misteri
tersendiri yang tak bisa diformulasikan. Bukankah Imam Al-Juwainiy, Fakhr
al-Din al-Razi, Al-Shahrastaniy dan punggawa ilmu Kalam yang lain sudah mengaku
tumpul dihadapan hati. terlebih yang berhubungan dengan keimanan dan
kepercayaan. Hal semacam ini lebih pas bila diserahkan pada ilmu Tasawuf yang
cenderung tidak hitam putih. Toh dalam berbagai pembahasan tentang ritual
shalat, puasa, haji dan yang lainnya, meski suasana hati menentukan kualitas,
tapi tidak ada batasan-batasan tertentu yang mengatur hati. kecuali niat,
itupun yang sifatnya lahir.
Dari berbagai postulat-postulat di atas bisa disimpulkan bahwa kebenaran
dalam perspektif agama dibagi menjadi dua macam; kebenaran agama dan kebenaran
beragama. Kebenaran agama sifatnya tunggal, universal, abadi dan permanen.
Sebab ia berhubungan langsung dengan Tuhan sebagai asal dari agama. Adapun kebenaran
beragama cenderung plural, berubah-ubah, temporal dan tidak permanen. Sebab ia
bersinggungan dengan manusia, sehingga ada dimensi kemanusiaan yang harus
dipertahankan. Perubahan yang terjadi pun harus dilandaskan pada nilai-nilai
profetik dan kemanusiaan yang menjadi tujuan agama itu sendiri. Hubungan yang terjalin antara kedua kebenaran
ini lebih mirip hubungan ta’alluq dan teori al-Hukm yang ada pada
tradisi ilmu Ushul fikih. Dengan kata lain, kebenaran agama adalah kebenaran
yang sudah sejak zaman azali. Dan kebenaran beragama merupakan muta’alliqât-nya
yang terpaku pada zaman, tempat dan manusia.
Dengan demikian, kebenaran dalam agama tidak bisa ditentukan melalui
warna, posisi, kelas dan kelompok tertentu. Ia bisa hinggap di mana saja selama
nilai profetik, kemanusiaan dan kebenaran terjaga. Sektarianisasi, klasifikasi,
legalisasi, formalisasi dan memberi warna pada kebenaran adalah upaya untuk
merusak kebenaran itu sendiri. Ketika pola tertentu diyakini mengandung
kebenaran, lantas disahkan dan dipatenkan, maka saat itulah awal dari
kesalahan. Sebab kebenaran ada bersama nilai profetik dan kemanusiaan, ia terus
berganti-ganti pola seiring dengan perubahan zaman dan dunia. Wallahu A'lam
[1]
Sa’d Al-Din Al-Hilaliy, Al-Islâm wa Insâniyyat
al-Daulah, Al-Haiah al-Mishriyah al-‘Amah li al-Kitab, Kairo, Cet. I, 2012,
h. 54-55
[5]
Lebih lanjut:
Jamaluddin al-Asnawiy, Nihâyat
Al-Suul fi Syarh Manhaj Al-Wushûl ila Ilm Al-Ushûl, Vol: II, h. 835-836
[8]
Abdul Karim Soroush, Basth
Al-Tajribah Al-Nabawiyyah, Terj: Ahmad Al-Qabanjiy, Dar al-Fikr al-Jadid, Baghdad , 2006, h. 186-187
[9]
Abu Hamid Al-Ghazaliy, Ihya
Ulûm Al-Dîn, Vol: I, Dar al-Rayyan li al-Turats, Cet: I, 1987, h. 101
[10]
Al-Harits Al-Muhasibiy, Al-‘Aql
wa Fahm Al-Qur’an, Peny: Husein Al-Qautiliy, Dar al-Kindi, Beirut , Cet: II, 1982, h. 134-135
[11]
Al-Amir Abdul Qadir
Al-Jazairiy, Al-Mawaqif fi Al-Tasawuf wa Al-Wa’dz wa Al-Irsyad, Vol: II,
Al-Haiah al-‘Amah li Qushur al-Tsaqafah, Kairo, 2011, h. 50
[12]
Muhammd bin ‘Irfah
Al-Dasuqiy, Hasyiah ‘Ala
Syarh Umm Al-Barâhin, Mathba’ah Musthafa al-Babiy al-Halabiy, Kairo, Cet
terakhir, tt, h. 57
[17]Ahmad Al-Raisuni, Al-Kulliyât Al-Asâsiyyah
li Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, Dar al-Salam, Kairo, Cet: I, 2010, h.
96-99
ijin nyimak gan informasinya
BalasHapusmenarik dan bermanfaat nih infonya
thanks ya, sukses terus