Kamis, 06 November 2014

Bahasa Agama dan Politik

Bahasa Agama dan Politik

Oleh: Fahim Khasani



Revolusi yang terjadi di berbagai negara arab membuat peta perpolitikan kawasan Timur tengah berubah total. Pasca revolusi, muncul semacam trauma atas tipologi kepemimpinan masa lalu yang cenderung diktator dan kebal kritik. Ini merupakan kesempatan emas bagi kelompok-kelompok yang dulu pernah tertindas dan dikebiri hak-hak politiknya untuk unjuk diri. Tak hanya itu, partai-partai baru dengan berbagai macam ideology yang diusung tak mau kalah. Mereka mulai bermunculan dan menjamur bak cendawan tersiram air hujan.


Saat itu panggung politik lebih seperti panggung pencarian bakat yang lagi marak di layar kaca. Betapa tidak, partai-partai itu menjajakan semua yang mereka janjikan sesuai dengan ideologi masing-masing. Kaum nasionalis bangga dengan slogan nasionalisme yang mereka agung-agungkan. Kaum liberal sibuk dengan slogan pembebasannya. Kaum islamis tak mau kalah dengan semangat yang berkobar jargon-jargon islam lantang mereka suarakan. Dan kaum-kaum lainnya yang turut meramaikan panggung politik.

Fokus pada gaya politik kaum islamis. Jika kita cermati ada hal yang menarik untuk dibahas sebagai sebuah fenomena. Fenomena berpolitik dan fenomena dalam beragama. Hal ini karena mereka mengatasnamakan Islam sebagai sebuah agama yang dipeluk oleh masyarakat yang mayoritas. Bahkan mengaku mewakili Islam dan masyarakat muslim. Sehingga apa yang mereka perjuangkan melalui kendaraan partai disinyalir sebagai perjuangan agama yang harus diperjuangkan oleh semua muslim yang taat.

Pada konteks yang demikian, batas antara laku berpolitik dan beragama amat sangat tipis laksana kulit ari. Hampir tidak bisa dipisahkan antara dimensi politik dan dimensi keagamaan. Sehingga seringkali terjadi pertukaran yang tidak sengaja antara keduanya, dan mungkin sebagian menganggap keduanya adalah sama. Di sinilah awal mula bencana itu muncul.

Kalaupun ada yang berusaha untuk menjelaskan tapal batas yang sangat tipis itu, orang tersebut harus siap jika nanti dituduh sebagai seorang yang sekuler. Tentunya dengan berbagai konsekwensi makna dan tanggung jawab yang terkandung dalam kata ‘sekuler’. Atau kritikan yang ditujukan untuk partai islamis tertentu bisa jadi disalah artikan oleh simpatisan fanatiknya sebagai kritikan terhadap agama yang sakral itu. Tak ayal kata ‘liberal’ dengan berbagai konsekwensinya disematkan secara sepihak, alih-alih sebagai gelar untuk si kritikus. Akhirnya partai islamis itu menjadi kebal kritik sebagai sebuah partai politik bentukan manusia yang berideologi islam.

Sebenarnya tidak menjadi masalah menebarkan ajaran Islam yang mulia itu melalui kendaraan partai. Hanya saja perlu dicermati dan diperhatikan betul-betul mana yang menjadi tujuan partai dan mana yang menjadi tujuan agama. Sebab keduanya sama sekali berbeda. Mencampur adukkan keduanya hanya akan menimbulkan preseden buruk terhadap Islam sebagai sebuah agama. Betapa tidak, Islam yang luhur itu nantinya hanya akan menjadi alat untuk memenuhi syahwat politik manusia yang haus akan kekuasaan.

Dalam masa kampanye misalnya, jargon seperti ‘Islam adalah solusi’ sebenarnya problematis. Seakan-akan Islam belum tegak tanpa memilih partai si empu jargon itu. Seakan-akan masyarakat belum berislam sehingga mengalami problem kehidupan yang sangat akut, lantas menghadirkan Islam sebagai sebuah tawaran solusi guna memperbaiki kualitas hidup. Lalu, bukankah Islam sudah melekat dalam hati masyarakat muslim jauh sebelum partai meneriakkan kalimat tersebut?

Hal yang dikhawatirkan akan munculnya jargon-jargon seperti ini adalah mempersempit skala Islam sebagai agama yang universal menjadi hanya lingkup satu partai. Memperdangkal makna Islam yang amat dalam itu hanya dalam satu ruang, partai. Dengan demikian mereka yang telah termakan jargon ini akan mempunyai pemahaman yang sempit terhadap Islam, hanya sebatas partai. Sehingga upaya kritikan yang ditujukan untuk partai sebagai organisasi politik disalah artikan sebagai kritikan terhadap agama. Sungguh Islam jauh lebih agung dari sekedar partai politik yang hanya berorientasi untuk berkuasa.

Tanpa menandai tapal batas antara kepentingan politik dan agama membuat jubir parpol sangat gampang menyitir ayat-ayat suci untuk menggerakkan masa, doa-doa negative terhadap lawan politik yang bersebarangan dan lain sebagainya. Sebenarnya pola seperti ini bukanlah hal yang baru. Saat fitnah kubro membara, orang-orang khawarij juga melakukan hal yang sama, menggunakan Al-Qur’an untuk kepentingan politik. Hingga Sayyidina Ali Ra berkomentar: kalimatu Haq urida biha al-Bathil.

Bahasa agama terlalu banyak yang diadopsi menjadi bahasa politik. Kata syahid contohnya, kata ini mempunyai arti yang sangat dalam. Yaitu mereka yang meninggal di jalan Allah Swt dalam melawan orang kafir. Dan syahid tidaknya seseorang tidak bisa dihukumi secara lahir. Imam Al-Bukhari dalam kitab shahihnya menuliskan bab khusus seputar ini: la yaqulu: Fulan Syahid. Beliau menuliskan hadis yang menceritakan seseorang terbunuh dalam suatu perang ketika Rasulullah Saw bertemu dengan kaum musyrikin lalu bertempur. Seorang sahabat berkata: hari ini tidak ada dari kita yang mendapat (syahadah) sebagaimana fulan mendapatkannya. Lalu Nabi Muhammad Saw menyanggah: bukan, sesungguhnya dia itu adalah penghuni neraka. Dus, Syahid tidaknya seseorang tidak ditentunkan secara lahir, melainkan keikhlasan hati. Sedangkan tak ada yang tahu perihal hati kecuali Allah Swt dan Rasulullah Saw.

Namun kini kata syahid mengalami pergeseran makna. Mereka yang gugur dalam aksi-aksi demonstrasi mendapat gelar syahid. Dan yang lebih ironis, muncul seruan-seruan untuk turun ke jalan mengikuti demonstrasi tanpa takut mati. Jikalaupun meninggal nantinya akan dicatat sebagai syahid. Dicatatan tangan manusia barangkali ya, namun di Mata Allah Swt belum tentu, dan hanya Allah yang tahu.

Bahasa agama yang telah menjadi bahasa politik setidaknya telah mengungkap jati diri mereka. Politik islam yang dielu-elukan dan sudah terlanjur diplot sebagai solusi itu ternyata telah mengalami pergeseran makna dan –bahkan secara tidak sadar- mereka salah artikan sendiri sebagai politisasi Islam.Wallahu A’lam.





5 komentar:

ketik komentar anda, pilih name/URL, masukkan nama, dan klik poskan komentar