Teks Al-Qur'an;
Sebuah Dialektika Kalam dan Alam
[Pembacaan Atas
Walid Munir]
Prolog
Sebagai kalam Ilahi, Al-Qur'an tak henti-hentinya menarik
perhatian para pengkaji. Semenjak 14 abad silam, tepat setelah ayat-ayat ilahi
itu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, Al-Qur'an sudah mendapat tempat
tersendiri di mata sahabat. Ia dibaca, dihafal, bahkan dituliskan di atas batu,
pelepah kurma, tulang kambing, unta atau apapun media yang bisa dipakai untuk
mengabadikannya ke dalam bentuk tulisan. Sebuah perhatian yang barangkali tidak
pernah terjadi pada teks selain Al-Qur'an.
perhatian umat islam terhadap Al-Qur'an ini telah berhasil
membangun sebuah peradaban yang kemudian disebut peradaban islam. Al-Qur'an
sebagai wahyu Tuhan telah banyak mengilhami sarjana muslim untuk meramu
berbagai ilmu. Tidak bisa dipungkiri bahwa keilmuan islam yang berkembang
sedemikian pesat, pada hakikatnya adalah manifestasi dari pancaran kalam Tuhan
itu.
Al-Qur'an tak henti-hentinya dikaji dari berbagai sisi.
Dimensi makna dan bahasa dikupas sedemikian rupa untuk menghadirkan kesadaran
baru yang selalu selaras dengan perkembangan zaman. Al-Qur'an sendiri dalam
salah satu ayatnya menegaskan, jikalaupun kayu yang ada di bumi dikumpulkan
untuk menjadi pena, dan air seluas samudra dibuat laksana tinta, tak akan cukup
untuk menuliskan kalimat Tuhan (Al-Kahfi; 109). Dengan demikian, adagium bahwa Al-Qur'an
shalih likulli zaman wa makan menemukan titik pembenaran teologisnya.
Paradigma seperti ini adalah niscaya bagi mereka yang hendak
menggali kesadaran yang lebih tinggi, pun sebagai motor penggerak bagi
kreatifitas akal manusia untuk selalu menghadirkan pemahaman yang segar. Buku
yang berjudul Al-Nash al-Qur'ani; min al-Jumlah ila al-'Âlam karya Walid
Munir adalah sebuah upaya untuk memahami korelasi terpendam antara kalam dan
Alam. Sebuah tema yang –menurut pengakuan penulis buku- baru dan belum pernah
menjadi sorotan kajian secara holistik, baik dari ilmuwan islam atau barat.
Sebenarnya pembahasan secara eksplisit tentang tema ini sudah
diisyaratkan oleh ilmuwan islam klasik, terutama dalam kajian yang bertajuk
tasawuf. Kehadiran kitab al-Aql wa fahm al-Qur'an karya Al-Hârits al-Muhâsibiy
menjadi penanda penting bagi korelasi wahyu (Al-Qur'an) dan Wujud (Akal). Ia
juga menepis beberapa tuduhan yang meragukan oroisinalitas Tasawuf
dalam tradisi keilmuwan islam. Meski demikian, Al-Muhasibiy belum sepenuhnya
mengungkap korelasi itu, sebab ia hanya memfokuskan pembahasan seputar terma
akal.
Dalam menyajikan gagasan buku, penulis akan membaginya ke
dalam beberapa sub bab yaitu: biografi singkat dan metode penulisan, ide dan
gagasan, Sub judul di atas sengaja dipilih tak lain untuk menjaga jarak antara
pembaca dan penulis buku. Sehingga pembaca bias dengan mudah mencerna gagasan
yang disampaikan buku dan bias melakukan kritik atas ide yang diusung. Sebab,
bagaimanapun juga, buku ini adalah produk nalar kreatif manusia yang bukan
tanpa celah dan kebal kritik.
Biografi singkat dan metode
Dr. Walid Munir, demikian namanya tertera dalam buku ini. Ia
adalah seorang pengkaji berkebangsaan Mesir. Lahir pada tahun 1957 di kota
Kairo. Pendidikan akademiknya diselesaikan di Akademi Kesenian Mesir. Dan
mendapat gelar doktoralnya dalam bidang kritik sastra dan linguistik pada tahun
1990.
Selain sebagai Dosen sastra di Universitas Helwan, ia juga
seorang penulis dan penyair yang produktif. Karya-karyanya difokuskan pada
kritik untuk pengembangan analisa linguistik dan gaya bahasa. Diantara karya
dalam bentuk buku adalah: Fadhâ' al-Shaut al-Dramiy dan Al-Syi'riyyah wa
al-Wa'y wa al-Zamân. Karya dalam bentuk makalah ilmiyah juga tersaji dalam
seminar-seminar. Sebagai seorang penyair, ia juga memiliki beberapa antologi
puisi. Hanya saja penulis tidak mencantumkannya dalam biografi singkat dalam
buku ini.
Analisa yang digunakan penulis dalam mengungkap dimensi teks
didominasi oleh analisa bahasa. Teks Al-Qur'an didekati dengan pembacaan
semiotik, hermeneutik dan pendekatan intertekstual. Ketiga nomenklatur
pembacaan ini banyak ditemukan di bebarapa bab kala mendedah sebuah terma. Pada
bab Al-Nash bi wasfihi khitaban misalnya, ia tanpa ragu menggunakan
pembacaan ini untuk mengungkap dimensi khithâb dalam sebuah teks. Hal
ini diberlakukan karena khithâb baginya adalah konteks (al-Wâqi'),
perantara (al-Siyâq) dan kondisi lawan bicara (Hâlât al-Mukhâtab).
Sebuah teks tak akan berarti apa-apa tanpa adanya dimensi yang merubahnya
menjadi sebuah diskursus (khithâb). Dengan demikian teks sudah beranjak
dan naik ke alam yang lebih kompleks. Tidak hanya tentang makna literal, lebih
dari itu, ada makna samar (makna diskursif) yang sudah menyatu dengan dimensi
manusia kala ia menjadi sebuah diskursus. Diskursus ini pula yang menjadikan
teks bisa hidup (al-Ta'bîr al-Hayy) dan membuat semacam dialektika yang
menghubungkan antara teks dengan konteks.
Dalam hal ini, penulis mencontohkan dengan ayat al-Qur'an
yang turun di era perdana; Al-'Alaq;1-4, Al-Muzammil;1-8, al-Mudatsir; 1-7,
al-A'la; 1-9. dalam konteks ayat-ayat tersbut nabi Muhammad Saw menjadi sasaran
khithâb sebagai penanda dimulainya status baru seorang Muhammad bin Abdillah.
Ayat diatas mengisyaratkan sebuah perintah (اقراء), (قم), (رتل), (أنذر), (فكبِّر), (فطهِّر) yang menjadi tugas seorang nabi, sebagai perantara penerima
awal ( al-Mutalaqqi al-Awal) sekaligus penyampai pesan (al-Wasîth)
kepada manusia (al-Mutalaqqi al-Tsâni). Segala penanda –manusia, benda
dan hubungan- yang ada dalam ayat tersebut menjadi penting untuk dicermati dan
membawa pemaknaan yang berbeda dan saling melengkapi. Disinilah titik penting
hadirnya pembacaan intertekstual.
Pembacaan intertekstaul yang digunakan penulis ada dua
tipologi; pertama, internal teks (ayat dengan ayat) dan kedua eksternal (Hadis,
kitab suci agama samawi, dan kitab suci agama non samawi). Perihal cara
menguraikannya, penulis menyebutkan teks sesuai dengan urutan validitas
–tentunya menurut keyakinan penulis-. Sehingga Al-Qur'an selalu ditempatkan di
posisi paling akhir. Namun demikian, Al-Qur'an selalu menjadi pamungkas yang
handal. Seakan ia memuat dan merekam segala yang terjadi yang termaktub dalam
teks-teks sacral tersebut. Hal ini bias dibuktikan dalam analisanya tentang
Teologi, materi awal pembentuk kehidupan (al-Madât al-Badâiyyah) dan
kehidupan pasca kematian (alam akhirat) yang menggunakan teks-teks suci liyan.[1]
Sebagai sebuah teks yang menggunakan bahasa arab, Al-Qur'an
tidak jauh berbeda dengan teks-teks warisan (Turats) Arab pra kenabian; Syair
dan prosa (natsr). Para kritikus sastra yang intens dalam mengkaji
sastra kuno jahili ini berhasil memetakan kaidah umum yang termuat dalam karya
sastra klasik. Dalam ranah syair misalnya, ada istilah Qâfiyah sebagai penanda titik berhenti dan 'Arudl yang
mengatur keserasian ujung bait dengan bait sebelumnya. Hal ini juga terdapat
dalam Al-Qur'an. Hanya saja ia menggunakan istilah yang berbeda. Qâfiyah
dalam istilah al-Qur'an adalah Fâshilah, sedangkan bait adalah ayat itu
sendiri. Meski demikian Al-Qur'an bukanlah syair ataupun natsr, tapi
Al-Qur'an adalah Al-Qur'an. Kurang lebih demikian kata Thaha Husein dalam Fi
al-Syi'r al-Jahiliy.
Paradigma ini nampaknya juga digunakan oleh penulis. Lebih
dari itu, ia menemukan bahwa kemiripan tidak hanya ada dalam mabna
(struktur teks), melainkan juga terjadi dalam susunan makna. Dalam tradisi
syair ada istilah al-Takhallus, yang berarti peralihan dari satu makna
ke makna lain atau tujuan ke tujuan yang lain.hal ini ia paparkan dalam satu
bab tersendiri guna mencapai pemahaman yang holistic. Analisa baca yang
digunakan juga tidak jauh berbeda. Teori tersebut ia gunakan untuk mengungkap
kesatuan makna universal yang secara kasat mata mengalami keterputusan logika.[2]
Pada titik ini ia berhasil membuka arah baru studi al-Qur'an
yaitu hubungan yang berkelit-kelindan antar ayat dalam suatu
surat. Pada ranah yang lain teori ini sangat relevan jika digunakan mengurai
ayat qashash (kisah-kisah) guna mengungkap kesadaran makna yang mendalam
tentang ayat cerita dan korelasi dengan ayat sebelumnya yang –secara literlek-
tidak berhubungan sama sekali. Teori ini sekaligus membuka cakrawala pembaca
tentang kontradiksi tafsir dan pemahaman yang kerap terjadi. Dan menjadi sebuah
masalah, kala kontradiksi tersebut pada akhirnya berbuah menjadi aksi yang
memicu konflik dan perpecahan. Sangat ironis, dan ternyata pemicunya adalah
pemahaman ayat yang parsial dengan memisahkannya dari induk inangnya. Teori ini
juga menguatkan keyakinan pemakalah bahwa Al-Qur'an selayaknya dipahami utuh
dengan mengumpulkan kepingan-kepingan teks pendudukung yang berserakan.
sehingga bisa mendapatkan pemahaman yang utuh dan holistik.
Dalam mengungkap teori tentang alam dan korelasinya dengan
Al-Qur'an, ia meminjam -sedikitnya- tiga teori yang ada dalam tradisi keilmuwan
islam, yaitu bahasa (terma majaz), Filsafat (imajinasi) dan Tasawuf (mimpi).
Ketiganya mempunyai bidang garap metafisis yang berada di alam tak tertentu (al-lâ
muta'ayyan) dan tak bertempat (al-lâ makân). Oleh karenanya,
seringkali pembaca menemukan kesulitan ketika hendak mengidentifikasi ketiga
teori tersebut. Seakan ketiganya hadir dengan perwajahan yang sama.
Secara umum, penulis memberlakukan berbagai teori untuk
mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang dikandung oleh teks. Ditambah
dengan sudut pandang yang beragam dari bermacam disiplin ilmu. Sehingga tidak
berlebihan apa yang dikatan penulis bahwa buku ini adalah upaya memahami,
menganalisa dan mentakwil sekaligus.[3]
Ide dan Gagasan
Walid Munir menuangkan gagasannya dengan membagi
ke dalam beberapa sub bab. Namun sangat disayangkan pembahasan tentang teks
sangat mendominasi. Sehingga penjelasan tentang alam tidak mendapat porsi yang
cukup. Maklumat tentang alam pun berserakan di hampir semua bab. Oleh
karenanya, pembahasan pada sub bab ini akan dibagi menjadi tiga. Pertama,
Dimensi tekstual Al-Qur'an. Kedua, Alam,
Imajinasi dan Majaz.
Dimensi Tekstual Al-Qur'an
Membincang tentang Al-Qur'an mau tidak mau kita akan
dihadapkan pada urusan kata dan makna. Dialektika antara keduanya selalu ada
hampir di seluruh disiplin ilmu islam. Tak
jarang, ia memantik perdebatan sengit berbagai kubu. Akan tetapi bukan itu yang
akan kita bahas kali ini. Dimensi tekstual yang dimaksud adalah unsur-unsur
tekstualis yang terkandung dalam kalam ilahi. Disebut unsur, karena ia adalah
bagian yang tak terpisahkan dan menjadi elemen pembentuk teks tersebut.
Meskipun ada sebagian yang dengan sengaja menganggap elemen tersebut tidak ada
–dengan berbagai argumen- atau bahkan tidak menyadari keberadaannya. Elemen
tersebut adalah khithâb, ikhtilâf al-Dalâlah, al-Takhallus, muftatahât al-Nash dan al-Majâz.
Khithâb (diskursus) dalam pengertian yang paling sederhana adalah
sekumpulan bunyi, isyarat, atau apapun itu yang disusun sedemikian rupa guna
menunjukkan Dalâlah tertentu atau tujuan tertentu. Manusia mampu
berinteraksi dan komunikasi dengan selainnya tak lain karena khithâb
yang membaur dengan kalam. Sehingga orang lain bisa
memahami maksud dan tujuan kita. Dan begitulah komunikasi terbentuk. Ringkas
kata, apabila dalam ilmu nahwu ada semacam hubungan antar kata dalam satu
kalimat sehingga membentuk makna (ta'lîq al-kalim ba'dhahâ bi ba'dh),[4]
maka khithâb adalah menghubungkan kalimat kepada rekan wicara (al-Mukhâtab)
sehingga ia dapat menerima dan memahami makna. Oleh karenanya, sebuah teks
ketika sudah menjadi khithâb ia akan mempunyai dimensi yang lebih, yaitu
dimensi sejarah yang mencakup zaman, makan, ahwâl dan asykhâs.
Sebagaimana disinggung di atas. Sehingga tak jarang sebuah teks mempunyai makna
yang jauh melampaui apa yang dikandung oleh teks secara harfi. Hal ini terdapat
pada teks secara umum.
Dalam al-Qur'an, indikasi dimensi khithâb muncul dengan jelas -setidaknya- dalam terma al-Naskh wa
al-Mansûkh dan gradualitas turunnya al-Qur'an. Gradualitas sendiri
mengandaikan keterbukaan Al-Qur'an terhadap zaman. Di sisi lain, ia memicu
keberadaan teori naskh menjadi perlu. Naskh sendiri adalah wujud
keterbukaan al-Qur'an terhadap perubahan yang terjadi seiring dengan peralihan
zaman. Dari sini kalam langit itu mulai membumi, menyejarah dan menyatu dengan
alam. Jika demikian, akankah Al-Qur'an terperangkap ke dalam zaman?
Dimensi khithâb dalam al-Qur'an adalah dimensi yang
universal. Ia mencakup dimensi kesejarahan yang selalu berubah, membentuk
kehidupan manusia yang berada pada zaman tertentu. Pengetahuan manusia sangat
tergantung pada dimensi sejarah yang mengitarinya. Dengan kata lain ada pola daur
(metamormosa) tanpa henti antara manusia dengan konteks. Manusia –disadari atau
tidak- adalah anak masa (konteks). Namun di sisi lain manusia sendiri yang
membentuk dan mewarnai masanya. Di sini, Al-Qur'an mempunyai dimensi khithâb yang melampaui zaman dan pengetahuan manusia. Sehingga, ia
akan terus menghasilkan makna-makna baru sebagai bentuk tajalliy
kalam ilahi yang tak kenal henti.[5]
Al-Qur'an pada awalnya adalah berupa ujaran yang di lantuntan
dari mulut ke mulut.[6]
Lalu kemudian ditulis dan menjadi sebuah tulisan yang secara otomatis telah
hilang dimensi bunyi, intonasi dan sebagainya. Jika hal yang terjadi secara
alamiah ini bias disebut sebagai reduksi, maka
dengan demikian al-Qur'an (secara teks) sudah tereduksi sejak ia menjadi
tulisan. Namun, apa mau dikata, barangkali hanya dengan perantara itu al-Qur'an
bisa hadir di depan kita.
Paul Ricour di sini
membedakan antara teks dan diskursus (khithâb). Baginya teks adalah
sebentuk diskursus yang diabadikan ke dalam tulisan (al-Khithâb al-Mutsbat).
Atau dalam bahasa lain:
Teks = khithâb – dimensi khithâb yang hilang
Atau sebaliknya:
Khithâb = teks + dimensi khithâb yang hilang.
Ketidaksadaran akan adanya dimensi yang hilang ini menjadikan
al-Qur'an –seakan-akan- hadir secara kontradiktif. Hal ini karena ada semacam musytarak
mutsbat antara teks dan khithâb. Setidaknya ada tiga pola mengenai
hal ini: 1) tentang terma hakikat dan mitsâl.
Hal ini tercermin dalam Ali Imran; 102 sebagai sebuah hakikat dan Al-Taghabun;16
sebagai mitsâl/wâqi'. 2) terma juz'iy
– kulliy dan nisbiy-mutlak. Tercermin dalam Al-Baqarah;
115 dan Al-Baqarah; 150. dan 3)
tentang gradualitas ayat. Tercermin dalam ayat-ayat pengharaman khamr
dan lain sebagainya.
Ada semacam titik hitam dimana dari sana muncul pseudo
kontradiksi. Titik tersebut juga mengungkap bahwa pada dasarnya juz'iyyat
adalah bagian dari kulliyat, nisbiy bagian dari mutlak dan mitsâl
adalah bagian dari hakikat yang tersembunyi.
Ikhtilaf Dalâlah dalam al-Qur'an menjadi sebuah kajian yang tak pernah usai
sampai sekarang. Bahkan dalam satu huruf pun ia bisa
mempunyai dalâlah yang bermacam-macam. Berdasarkan
pola gaya bahasa yang digunakan, sedikitnya ada tiga genre. 1) al-Iqtishâd
al-uslûbiy (gaya bahasa ringkas) atau al-Ījaz.
Hal ini terjadi pada huruf al-Tahajiy. Bahkan sampai sekarang ia masih
menjadi misteri di kalangan sebagian ahli tafsir dan memasukkannya ke dalam
kategori mutasyabbihât. Namun, ada bebarapa ilmuwan (Filsuf, sufi dan
gnostik syi'ah) yang berusaha mengungkap maknanya dengan menjadikannya sebagai
tanda simbolik yang memuat makna lebih tinggi yang tidak cukup hanya dengan
pemahaman sahaja. Lebih dari itu, huruf hijaiyah dalam perspektif Ibn Arabi
digunakan sebagai simbol klasifikasi wujud.
Selain itu juga terjadi pada kata yang musytarak (makna ganda), ayat yang
marja' dhamirnya tidak jelas seperti pada Thaha; 128.
Kedua, al-Ishâb atau al-Ithnâb. Ini terjadi
pada ayat kisah para nabi. Kerap kali dua ayat dengan obyek pembahasan yang
sama hadir dengan gaya bahasa yang berbeda. Dan kedua mempunyai dalâlah yang berbeda pula seperti dialog antara nabi Musa dengan Fir'aun
dalam al-A'raf; 106 dan al-Syu'ara; 30-31.
Ketiga, mukhalâfât al-Siyâq. Seperti pada al-Sy'aura;
16-17.
Pada pembahasan sebelumnya, terma tentang al-Takhallus
sudah sedikit di singgung. Ia adalah pola bangunan makna yang secara kasat mata
berbeda, namun pada prinsipnya mempunyai dimensi masing-masing yang saling
berkaitan. Sehingga menimbulkan apa yang disebut al-Fajwah dan al-Rabt
(celah dan penghubung).[8]
Al-Takhallus sendiri dalam al-Qur'an terjadi secara dua arah. Pertama, al-Takhallus al-Shautiy. Ini terjadi
sebab qâfiyah ayat pertama dan ayat-ayat
selanjutnya mengalami perubahan. Namun, dengan demikian Al-Qur'an menemukan
keindahannya dari sisi bunyi dan menghasilkan irama yang berbeda. Kedua,
al-Takhallus al-Ma'nawiy. Dan ini yang menjadi pembahasan inti kaitannya
korelasi kalam dengan alam dari sisi pola. Surat al-Nahl; 64-66. pada tiga ayat
ini ada tiga simbol yang menarik, yaitu: tanzîl
al-Kitâb, Ma' al-Sama' dan labn al-An'âm. ketiganya adalah simbol
dari tiga anugrah yang masing-masing berada dalam dimensi berbeda; wahyu sebagai bentuk anugrah rûhiyah,
sedangkan air dan susu sebagai anugrah mâdiyyah. Ketiganya juga berasal dari Tuhan sebagai
mursil awal (pengirim pertama). Polanya kurang lebih seperti ini.
Allah
↓
Wahyu----Langit---Ternak
↓ ↓ ↓
Nabi ----Bumi----Manusia
↓
Manusia
Pola di atas adalah pola makna kully yang terkandung dalam
ketiga ayat tersebut. Makna kulliy ini adalah
kumpulan dari tiga makna juz'iyyah ayat. Dialektika antara kulliy dan juz'iy
memunculkan dualisme dalam makna; al-Tarabut dan al-Fajwah. Al-Tarabut
terjadi ketika ketiganya dikumpulkan menjadi satu. Sedangkan al-Fajwah
terjadi ketika ketiganya dimaknai secara terpisah. Pola demikian tidak hanya
terjadi pada ayat ini. Lebih lanjut, ia terdapat pada setiap huruf, kata, fâsilah,
ayat, surat dan Al-Qur'an secara keseluruhan sebagai sebuah al-Wihdah
al-Dalâliyah al-Ulya.[9]
Dialektika yang sama terjadi pada alam atau bahkan manusia
(sebagai alam kecil). Ia terjadi pada kedua bentuk alam sekaligus; fisik
(makrokosmos dan mikrokosmos) dan metafisik. Semua saling berkelit-kelindan
dan bermuara pada satu dzat, Tuhan. Pada alam fisik dan manusia, hal ini dapat
dibuktikan secara empirik berdasarkan penelitian ilmuwan eksakta moderen.
Alam, Imajinasi dan Majaz
Terma alam dalam perspektif filsafat dan ilmu kalam adalah
segala sesuatu (Al-Maujudât) yang selain Allah. Meski demikian,
klasifikasi tentang alam sangat beragam. Akan tetapi, Secara rinci Al-Farabi
membagi Al-Maujudât ke dalam dua bagian, yaitu: Al-Maujudât al-Rûhiyyah,
ia masih dibagi ke dalam enam bagian.
Urutan tertinggi adalah Tuhan sebagai al-Sabab al-Awal. kedua,
adalah Akal yang jumlahnya ada sembilan sebagai penggerak alam semesta. Ketiga,
akal fa'al manusia. keempat, jiwa manusia. Kelima, al-Huyûliy
dan keenam, gambar. Adapaun Al-Maujudât al-Mâdiyyah dibagi
menjadi enam tingkatan. Tingkatan paling tinggi adalah Manusia, hewan,
tumbuhan, barang tambang, benda-benda luar angkasa dan al-Mâdah al-Ula
(materi awal pembentuk alam).[10]
Al-Qur'an ketika menggunakan kata alam selalu menggunakan
bentuk jamak. Sehingga, meski klasifikasi tentang alam begitu banyak, ia tetap
mempunyai pembenarannya sendiri. Bagi penulis, alam adalah sebuah bentuk lain
dari 'goresan pena Tuhan'. Dalam artian ia adalah teks tetapi dalam bentuk yang
berbeda. atau dalam istilah lain ayat kauniyyah. Sedangkan
Al-Qur'an adalah ayat Qauliyyah.[11]
Alam sebenarnya adalah teks yang ditulis dengan bahasa yang
berbeda. ketika manusia melakukan penelitian terhadapnya, sebenarnya ia
melakukan sebuah penafsiran dan menguraikan tanda simbolik apapun yang
dihadirkannya. Dengan demikian kemajuan teknologi dan apapun yang menunjang
hajat hidup manusia, pada dasarnya adalah hasil dari penafsiran dan pentakwilan
atas ayat kauniyah untuk mengungkap aturan dan hukum alam yang berlaku. Ayat
sanuriihim.
Jika keduanya adalah 'teks', maka memberberlakukan
pembacaan intertekstual antar keduanya bukanlah hal yang mustahil. Dengan kata
lain mendialektikakan antara ayat kauniyyah dengan ayat qauliyyah
atau kalam dan alam atau wahyu dan wujud. Pada dasarnya, alam adalah sekumpulan
kemungkinan (majmu'ât al-Mumkinât) yang melalui proses peralihan dari
imajinasi-imajinasi yang tanpa batas (al-Tashawurât al-La nihâ'iyyah/ al-Khayâlât
al-la nihâ'iyyah) ke bentuk yang indrawi terbatas dan tunduk pada aturan
tertentu dari al-Wujûd al-Kulliy ke al-Wujûd al-Fardiy al-Juz'iy.
Teks Al-Qur'an secara simbolik merekam proses transformasi
yang terjadi pada alam dengan berbagai derifasinya. Lebih dari itu, ia mampu
memutar balik (Flash back) proses tersebut dari yang partikular
(juz'iy) ke universal (kulliy). Al-Qur'an mampu merangkum semua
itu, sebab bahasa mempunyai apa yang disebut dengan majaz yang mampu
mengilustrasikan hal-hal yang tidak kasat mata (imajiner/abstrak) menjadi
–seakan-akan- realita dan nyata. Barangkali demikian bentuk intertekstual yang
terjadi antara wahyu dan wujud/ kalam dan alam.[12]
Lalu dimana posisi imajinasi?
Imajinasi (al-Khayyâl) digunakan ketika dihadapkan
pada sebuah teks yang penuh dengan nuansa simbolik. Sebab, teks secara umum
tidak semuanya bersifat logis. Ada tipikal teks yang jika dibaca secara logis
akan justru merusak bangunan makna yang dibentuk. Diantaranya adalah teks-teks
sastra. Al-Qur'an pun juga demikian. Ada beberapa ayat yang penuh dengan
penanda simbolik yang tidak bisa dipahami dengan pemahaman biasa.
Diantaranya adalah ayat-ayat mengenai ilahiyyât, nubuwât, sam'iyyât,
makrokosmos dan mikrokosmos, kisah para nabi dan umat terdahulu dan huruf-huruf
pembukaan surat.
Ayat tentang ilahiyyât misalnya, ia akan terus memicu
perdebatan yang langgeng jika masih dipahami dengan cara yang biasa. Ayat yadu
allah fauq aydihim, al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa, hendaknya
dipahami sebagai bentuk tajalli Allah kepada makhlukNya. Yang menarik
adalah ketika kita melakukan pembacaan intertekstual mengenai masalah ini. Kita
akan disuguhkan maklumat yang banyak tentang Tuhan.
Namun semuanya berkutat pada Al-Asmâ' dan al-Sifât saja. Lebih
dari itu, Tuhan membatasi pengetahuan manusia dengan mengatakan laysa ka mitslihi syai’. Ayat ini
seakan-akan menjadi hijab atau barzakh yang menutup celah atas manusia.
Sehingga para ilmuwan merumuskan kaidah dalam masalah ini bahwa al-'Ajz 'an
al-Idrâk huwa 'ain al-Idrâk.
Contoh lain adalah pembacaan yang dilakukan oleh Al-Ghazali
tentang tamtsîl cahaya (al-Nur) dalam al-Nur;35. apabila Al-Ghazali
memandang cahaya sebagai sinar matahari yang bias ditangkap mata, maka ia tak
akan sampai pada makna dan kesadaran yang tinggi perihal ayat tersebut. Namun
dengan simbolik dan takwili ini, ia berhasil mengungkap bahwa cahaya yang
dimaksud adalah berperingkat sesuai dengan alamnya masing-masing. Lebih lanjut
ia membagi lagi ke dalam dua bagian: cahaya yang bias ditangkap oleh mata (bashar)
dan cahaya yang hanya bisa ditangkap oleh mata hati (bashîrah).[13]
Dengan demikian majaz dalam bahasa laksana sebuah cermin yang
bias menampung 'bayangan' alam dan wujud yang metafisik. Setidaknya ada tiga
hal yang menjadi fungsi majaz –menurut penulis-: pertama, majaz mampu
mengungkap wujud yang universal (kulliy) menggunakan simbol dari alam
partikular (juz'iy). Kedua, majaz memberikan kesempatan kepada
dzat untuk berpisah dari dirinya dan membaur dengan yang lain. Ketiga,
majaz mengungkap hakikat sesuatu melalui symbol yang dibuat atau teori alam
mimpi.[14]
Selain sebagai cermin, ia juga penghubung antara antara alam
dunya dan alam 'ulya (mi'râj al-Wâqi'). Namun, perlu
diketahui bahwa dalam tradisi tasawuf pembahasan seperti ini selalu didampingi
dengan pembahasan seputar tingkatan ruh. sebab jika tidak demikian, pembahasan
tentang takwil seperti ini tidak menemukan pijakan epistemologis. Al-Ghazaliy
menyebutkan ada lima tingkatan ruh: 1) al-Ruh al-Hassâs, 2) al-Ruh
al-Khayyâliy, 3) al-Ruh al-'Aqliy, 4) al-Ruh al-Fikriy, 5) al-Ruh
al-Qudsiy al-Nabawiy.
Roh
inderawi adalah bagian jiwa manusia yang berperan mengenal dan membedakan
sesuatu yang dikenal di alam indrawiy (dunia empiris). Roh imaginasi ialah
bagian jiwa yang tugasnya merekam keterangan yang dikirim oleh indera, kemudian
menyimpannya dan menyampaikannya pada ruh yang di atasnya, yaitu ruh akal atau
inteligensia. Apabila imaginasi yang pekat dapat dijernihkan, dihaluskan dan
dirapikan, maka ia akan dapat digunakan untuk mencapai batas makna-makna yang
dapat diserap oleh inteligensia atau akal budi. Peran imaginasi ialah
menghimpun simbol-simol imaginatif bagi keperluan pengetahuan akal. Imaginasi sangat
diperlukan dalam penerapan kaidah takwil, namun yang tidak kalah penting ialah
ruh pemikiran (al-Ruh al-Fikr). Peran ruh pemikiran ialah mengambil
ilmu-ilmu rasional murni dan kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan
penggabungan-penggabungan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan berupa
pengetahuan spiritual.[15]
Al-Muhasibiy
12 abad silam telah mengisyaratkan korelasi antara kalam dan alam melalui
penelusurannya tentang esensi akal. Penaparannya tentang esensi akal (mâ'iyat
al-Aql) pada titik kulminasinya mempertemukan antara dua kutub teks, alam teks
dan teks alam. Baginya akal adalah mustadil. Sedangkan kalam (ayat
qauliyyah/ alam teks) dan alam (ayat kauniyyah/teks alam) dalil yang
mengantarkan pada eksistensi yang paling tinggi, Tuhan.[16]
Prolog
Melalui al-Nash
al-Qur'aniy; min al-Jumlah ila al-'Alam, setidaknya Walid Munir telah
membuka cakrawala tentang korelasi alam teks (kalam) dan teks alam. Alam adalah
sekumpulan kebermungkinan yang tak terbatas. Adapun kalam memuat simbol-simbol
kebermungkinan itu. Keduanya bermuara pada sumber yang sama, Allah. Hanya saja,
jika alam adalah teofani yang hadir sebagai makhluk. Maka kalam adalah teofani
yang hadir sebagai amr ilahiy. Dengan demikian Al-Qur'an akan tetap
menjadi ruang untuk dibaca. Sebab berkumpul dalam di dalamnya ilm al-Awwalin
dan ilm al-Akhirin, ilm al-Dzâhir dan ilm al-Bâthin, dan
gerbang menuju yang ghaib (mafâtih al-Ghaib) yang menjadi rahasia Tuhan.
Barang kali atas dasar ini, kaum sufi merasa berhutang budi pada Asy'arian yang
dengan mati-matian menentang kemakhlukan Al-Qur'an.
الهي...
قد علمت باختلاف الآثار و تنقلات الأطوار
ان مرادك ان تتعرف اليَّ في كل شيئ
حتي لا أجهلك في كلي شيئ
(الحكم العطائية)
[1] Walid Munir, Al-Nash al-Qur'aniy; min al-Jumlah ila
al-‘Alam, Al-Ma’had al-‘Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, Kairo, 1997, h.
119-126
[4] Abdul Qahir al-Jurjani, Dala’il al-I’jaz,
tahkik; Mahmud Ahmad Syakir, Syirkat al-Quds, Kairo Cet I, 1992, h. 4
[6] Perihal sampainya wahyu kepada nabi Muhammad
ada tiga cara; kalam dari balik tabir, langsung ke dalam hati Nabi atau melalui
perantara malaikat. Adapun wahyu Al-Qur’an kesemuanya diturunkan melalui
Malaikat Jibril syafâhiyan. Lihat kata pembuka Tafsir al-Sya’rawiy.
[8] istilah ini sebenarnya adalah istilah dalam syair.
Dalam sebuah ontology syair, penyair kerap kali berpindah dari satu makna ke
makna yang lain. Sehingga menimbulkan semacam keterpotongan logika atau celah
yang harus dipadukan untuk bias mengungkap maksud dari sang penyair secara
utuh.
[13] Abu Hamid Al-Ghazaliy, Misykat al-Anwar, Tahkik;
Ridhwan Jami’ Ridhwan, Dar el-Haram, Kairo Cet I, h. 55
[16] Lihat pengantar penahkik Al-Harits
Al-Muhasibiy, Al-‘Aql wa Fahm al-Qur’an, Tahkik; Hasan al-Qautiliy, Dar
al-Kindi, Beirut, Cet II, 1982, h
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ketik komentar anda, pilih name/URL, masukkan nama, dan klik poskan komentar