Kamis, 06 November 2014

Teks Al-Qur'an; Sebuah Dialektika Kalam dan Alam

[Pembacaan Atas Walid Munir]



Prolog
Sebagai kalam Ilahi, Al-Qur'an tak henti-hentinya menarik perhatian para pengkaji. Semenjak 14 abad silam, tepat setelah ayat-ayat ilahi itu diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, Al-Qur'an sudah mendapat tempat tersendiri di mata sahabat. Ia dibaca, dihafal, bahkan dituliskan di atas batu, pelepah kurma, tulang kambing, unta atau apapun media yang bisa dipakai untuk mengabadikannya ke dalam bentuk tulisan. Sebuah perhatian yang barangkali tidak pernah terjadi pada teks selain Al-Qur'an.

perhatian umat islam terhadap Al-Qur'an ini telah berhasil membangun sebuah peradaban yang kemudian disebut peradaban islam. Al-Qur'an sebagai wahyu Tuhan telah banyak mengilhami sarjana muslim untuk meramu berbagai ilmu. Tidak bisa dipungkiri bahwa keilmuan islam yang berkembang sedemikian pesat, pada hakikatnya adalah manifestasi dari pancaran kalam Tuhan itu.


Al-Qur'an tak henti-hentinya dikaji dari berbagai sisi. Dimensi makna dan bahasa dikupas sedemikian rupa untuk menghadirkan kesadaran baru yang selalu selaras dengan perkembangan zaman. Al-Qur'an sendiri dalam salah satu ayatnya menegaskan, jikalaupun kayu yang ada di bumi dikumpulkan untuk menjadi pena, dan air seluas samudra dibuat laksana tinta, tak akan cukup untuk menuliskan kalimat Tuhan (Al-Kahfi; 109). Dengan demikian, adagium bahwa Al-Qur'an shalih likulli zaman wa makan menemukan titik pembenaran teologisnya.

Paradigma seperti ini adalah niscaya bagi mereka yang hendak menggali kesadaran yang lebih tinggi, pun sebagai motor penggerak bagi kreatifitas akal manusia untuk selalu menghadirkan pemahaman yang segar. Buku yang berjudul Al-Nash al-Qur'ani; min al-Jumlah ila al-'Âlam karya Walid Munir adalah sebuah upaya untuk memahami korelasi terpendam antara kalam dan Alam. Sebuah tema yang –menurut pengakuan penulis buku- baru dan belum pernah menjadi sorotan kajian secara holistik, baik dari ilmuwan islam atau barat.

Sebenarnya pembahasan secara eksplisit tentang tema ini sudah diisyaratkan oleh ilmuwan islam klasik, terutama dalam kajian yang bertajuk tasawuf. Kehadiran kitab al-Aql wa fahm al-Qur'an karya Al-Hârits al-Muhâsibiy menjadi penanda penting bagi korelasi wahyu (Al-Qur'an) dan Wujud (Akal). Ia juga menepis beberapa tuduhan yang meragukan oroisinalitas Tasawuf dalam tradisi keilmuwan islam. Meski demikian, Al-Muhasibiy belum sepenuhnya mengungkap korelasi itu, sebab ia hanya memfokuskan pembahasan seputar terma akal.

Dalam menyajikan gagasan buku, penulis akan membaginya ke dalam beberapa sub bab yaitu: biografi singkat dan metode penulisan, ide dan gagasan, Sub judul di atas sengaja dipilih tak lain untuk menjaga jarak antara pembaca dan penulis buku. Sehingga pembaca bias dengan mudah mencerna gagasan yang disampaikan buku dan bias melakukan kritik atas ide yang diusung. Sebab, bagaimanapun juga, buku ini adalah produk nalar kreatif manusia yang bukan tanpa celah dan kebal kritik.

Biografi singkat dan metode
Dr. Walid Munir, demikian namanya tertera dalam buku ini. Ia adalah seorang pengkaji berkebangsaan Mesir. Lahir pada tahun 1957 di kota Kairo. Pendidikan akademiknya diselesaikan di Akademi Kesenian Mesir. Dan mendapat gelar doktoralnya dalam bidang kritik sastra dan linguistik pada tahun 1990.

Selain sebagai Dosen sastra di Universitas Helwan, ia juga seorang penulis dan penyair yang produktif. Karya-karyanya difokuskan pada kritik untuk pengembangan analisa linguistik dan gaya bahasa. Diantara karya dalam bentuk buku adalah: Fadhâ' al-Shaut al-Dramiy dan Al-Syi'riyyah wa al-Wa'y wa al-Zamân. Karya dalam bentuk makalah ilmiyah juga tersaji dalam seminar-seminar. Sebagai seorang penyair, ia juga memiliki beberapa antologi puisi. Hanya saja penulis tidak mencantumkannya dalam biografi singkat dalam buku ini.

Analisa yang digunakan penulis dalam mengungkap dimensi teks didominasi oleh analisa bahasa. Teks Al-Qur'an didekati dengan pembacaan semiotik, hermeneutik dan pendekatan intertekstual. Ketiga nomenklatur pembacaan ini banyak ditemukan di bebarapa bab kala mendedah sebuah terma. Pada bab Al-Nash bi wasfihi khitaban misalnya, ia tanpa ragu menggunakan pembacaan ini untuk mengungkap dimensi khithâb dalam sebuah teks. Hal ini diberlakukan karena khithâb baginya adalah konteks (al-Wâqi'), perantara (al-Siyâq) dan kondisi lawan bicara (Hâlât al-Mukhâtab). Sebuah teks tak akan berarti apa-apa tanpa adanya dimensi yang merubahnya menjadi sebuah diskursus (khithâb). Dengan demikian teks sudah beranjak dan naik ke alam yang lebih kompleks. Tidak hanya tentang makna literal, lebih dari itu, ada makna samar (makna diskursif) yang sudah menyatu dengan dimensi manusia kala ia menjadi sebuah diskursus. Diskursus ini pula yang menjadikan teks bisa hidup (al-Ta'bîr al-Hayy) dan membuat semacam dialektika yang menghubungkan antara teks dengan konteks.

Dalam hal ini, penulis mencontohkan dengan ayat al-Qur'an yang turun di era perdana; Al-'Alaq;1-4, Al-Muzammil;1-8, al-Mudatsir; 1-7, al-A'la; 1-9. dalam konteks ayat-ayat tersbut nabi Muhammad Saw menjadi sasaran khithâb sebagai penanda dimulainya status baru seorang Muhammad bin Abdillah. Ayat diatas mengisyaratkan sebuah perintah (اقراء), (قم), (رتل), (أنذر), (فكبِّر), (فطهِّر) yang menjadi tugas seorang nabi, sebagai perantara penerima awal ( al-Mutalaqqi al-Awal) sekaligus penyampai pesan (al-Wasîth) kepada manusia (al-Mutalaqqi al-Tsâni). Segala penanda –manusia, benda dan hubungan- yang ada dalam ayat tersebut menjadi penting untuk dicermati dan membawa pemaknaan yang berbeda dan saling melengkapi. Disinilah titik penting hadirnya pembacaan intertekstual.

Pembacaan intertekstaul yang digunakan penulis ada dua tipologi; pertama, internal teks (ayat dengan ayat) dan kedua eksternal (Hadis, kitab suci agama samawi, dan kitab suci agama non samawi). Perihal cara menguraikannya, penulis menyebutkan teks sesuai dengan urutan validitas –tentunya menurut keyakinan penulis-. Sehingga Al-Qur'an selalu ditempatkan di posisi paling akhir. Namun demikian, Al-Qur'an selalu menjadi pamungkas yang handal. Seakan ia memuat dan merekam segala yang terjadi yang termaktub dalam teks-teks sacral tersebut. Hal ini bias dibuktikan dalam analisanya tentang Teologi, materi awal pembentuk kehidupan (al-Madât al-Badâiyyah) dan kehidupan pasca kematian (alam akhirat) yang menggunakan teks-teks suci liyan.[1]

Sebagai sebuah teks yang menggunakan bahasa arab, Al-Qur'an tidak jauh berbeda dengan teks-teks warisan (Turats) Arab pra kenabian; Syair dan prosa (natsr). Para kritikus sastra yang intens dalam mengkaji sastra kuno jahili ini berhasil memetakan kaidah umum yang termuat dalam karya sastra klasik. Dalam ranah syair misalnya, ada istilah Qâfiyah sebagai penanda titik berhenti dan 'Arudl yang mengatur keserasian ujung bait dengan bait sebelumnya. Hal ini juga terdapat dalam Al-Qur'an. Hanya saja ia menggunakan istilah yang berbeda. Qâfiyah dalam istilah al-Qur'an adalah Fâshilah, sedangkan bait adalah ayat itu sendiri. Meski demikian Al-Qur'an bukanlah syair ataupun natsr, tapi Al-Qur'an adalah Al-Qur'an. Kurang lebih demikian kata Thaha Husein dalam Fi al-Syi'r al-Jahiliy.

Paradigma ini nampaknya juga digunakan oleh penulis. Lebih dari itu, ia menemukan bahwa kemiripan tidak hanya ada dalam mabna (struktur teks), melainkan juga terjadi dalam susunan makna. Dalam tradisi syair ada istilah al-Takhallus, yang berarti peralihan dari satu makna ke makna lain atau tujuan ke tujuan yang lain.hal ini ia paparkan dalam satu bab tersendiri guna mencapai pemahaman yang holistic. Analisa baca yang digunakan juga tidak jauh berbeda. Teori tersebut ia gunakan untuk mengungkap kesatuan makna universal yang secara kasat mata mengalami keterputusan logika.[2]

Pada titik ini ia berhasil membuka arah baru studi al-Qur'an yaitu hubungan yang berkelit-kelindan antar ayat dalam suatu surat. Pada ranah yang lain teori ini sangat relevan jika digunakan mengurai ayat qashash (kisah-kisah) guna mengungkap kesadaran makna yang mendalam tentang ayat cerita dan korelasi dengan ayat sebelumnya yang –secara literlek- tidak berhubungan sama sekali. Teori ini sekaligus membuka cakrawala pembaca tentang kontradiksi tafsir dan pemahaman yang kerap terjadi. Dan menjadi sebuah masalah, kala kontradiksi tersebut pada akhirnya berbuah menjadi aksi yang memicu konflik dan perpecahan. Sangat ironis, dan ternyata pemicunya adalah pemahaman ayat yang parsial dengan memisahkannya dari induk inangnya. Teori ini juga menguatkan keyakinan pemakalah bahwa Al-Qur'an selayaknya dipahami utuh dengan mengumpulkan kepingan-kepingan teks pendudukung yang berserakan. sehingga bisa mendapatkan pemahaman yang utuh dan holistik.

Dalam mengungkap teori tentang alam dan korelasinya dengan Al-Qur'an, ia meminjam -sedikitnya- tiga teori yang ada dalam tradisi keilmuwan islam, yaitu bahasa (terma majaz), Filsafat (imajinasi) dan Tasawuf (mimpi). Ketiganya mempunyai bidang garap metafisis yang berada di alam tak tertentu (al-lâ muta'ayyan) dan tak bertempat (al-lâ makân). Oleh karenanya, seringkali pembaca menemukan kesulitan ketika hendak mengidentifikasi ketiga teori tersebut. Seakan ketiganya hadir dengan perwajahan yang sama.

Secara umum, penulis memberlakukan berbagai teori untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang dikandung oleh teks. Ditambah dengan sudut pandang yang beragam dari bermacam disiplin ilmu. Sehingga tidak berlebihan apa yang dikatan penulis bahwa buku ini adalah upaya memahami, menganalisa dan mentakwil sekaligus.[3]


Ide dan Gagasan
Walid Munir menuangkan gagasannya dengan membagi ke dalam beberapa sub bab. Namun sangat disayangkan pembahasan tentang teks sangat mendominasi. Sehingga penjelasan tentang alam tidak mendapat porsi yang cukup. Maklumat tentang alam pun berserakan di hampir semua bab. Oleh karenanya, pembahasan pada sub bab ini akan dibagi menjadi tiga. Pertama, Dimensi tekstual Al-Qur'an. Kedua, Alam, Imajinasi dan Majaz.

Dimensi Tekstual Al-Qur'an
Membincang tentang Al-Qur'an mau tidak mau kita akan dihadapkan pada urusan kata dan makna. Dialektika antara keduanya selalu ada hampir di seluruh disiplin ilmu islam. Tak jarang, ia memantik perdebatan sengit berbagai kubu. Akan tetapi bukan itu yang akan kita bahas kali ini. Dimensi tekstual yang dimaksud adalah unsur-unsur tekstualis yang terkandung dalam kalam ilahi. Disebut unsur, karena ia adalah bagian yang tak terpisahkan dan menjadi elemen pembentuk teks tersebut. Meskipun ada sebagian yang dengan sengaja menganggap elemen tersebut tidak ada –dengan berbagai argumen- atau bahkan tidak menyadari keberadaannya. Elemen tersebut adalah khithâb, ikhtilâf al-Dalâlah, al-Takhallus, muftatahât al-Nash dan al-Majâz.

Khithâb (diskursus) dalam pengertian yang paling sederhana adalah sekumpulan bunyi, isyarat, atau apapun itu yang disusun sedemikian rupa guna menunjukkan Dalâlah tertentu atau tujuan tertentu. Manusia mampu berinteraksi dan komunikasi dengan selainnya tak lain karena khithâb yang membaur dengan kalam. Sehingga orang lain bisa memahami maksud dan tujuan kita. Dan begitulah komunikasi terbentuk. Ringkas kata, apabila dalam ilmu nahwu ada semacam hubungan antar kata dalam satu kalimat sehingga membentuk makna (ta'lîq al-kalim ba'dhahâ bi ba'dh),[4] maka khithâb adalah menghubungkan kalimat kepada rekan wicara (al-Mukhâtab) sehingga ia dapat menerima dan memahami makna. Oleh karenanya, sebuah teks ketika sudah menjadi khithâb ia akan mempunyai dimensi yang lebih, yaitu dimensi sejarah yang mencakup zaman, makan, ahwâl dan asykhâs. Sebagaimana disinggung di atas. Sehingga tak jarang sebuah teks mempunyai makna yang jauh melampaui apa yang dikandung oleh teks secara harfi. Hal ini terdapat pada teks secara umum.

Dalam al-Qur'an, indikasi dimensi khithâb muncul dengan jelas -setidaknya- dalam terma al-Naskh wa al-Mansûkh dan gradualitas turunnya al-Qur'an. Gradualitas sendiri mengandaikan keterbukaan Al-Qur'an terhadap zaman. Di sisi lain, ia memicu keberadaan teori naskh menjadi perlu. Naskh sendiri adalah wujud keterbukaan al-Qur'an terhadap perubahan yang terjadi seiring dengan peralihan zaman. Dari sini kalam langit itu mulai membumi, menyejarah dan menyatu dengan alam. Jika demikian, akankah Al-Qur'an terperangkap ke dalam zaman?

Dimensi khithâb dalam al-Qur'an adalah dimensi yang universal. Ia mencakup dimensi kesejarahan yang selalu berubah, membentuk kehidupan manusia yang berada pada zaman tertentu. Pengetahuan manusia sangat tergantung pada dimensi sejarah yang mengitarinya. Dengan kata lain ada pola daur (metamormosa) tanpa henti antara manusia dengan konteks. Manusia –disadari atau tidak- adalah anak masa (konteks). Namun di sisi lain manusia sendiri yang membentuk dan mewarnai masanya. Di sini, Al-Qur'an mempunyai dimensi khithâb yang melampaui zaman dan pengetahuan manusia. Sehingga, ia akan terus menghasilkan makna-makna baru sebagai bentuk tajalliy kalam ilahi yang tak kenal henti.[5]

Al-Qur'an pada awalnya adalah berupa ujaran yang di lantuntan dari mulut ke mulut.[6] Lalu kemudian ditulis dan menjadi sebuah tulisan yang secara otomatis telah hilang dimensi bunyi, intonasi dan sebagainya. Jika hal yang terjadi secara alamiah ini bias disebut sebagai reduksi, maka  dengan demikian al-Qur'an (secara teks) sudah tereduksi sejak ia menjadi tulisan. Namun, apa mau dikata, barangkali hanya dengan perantara itu al-Qur'an bisa hadir di depan kita.

Paul Ricour di sini membedakan antara teks dan diskursus (khithâb). Baginya teks adalah sebentuk diskursus yang diabadikan ke dalam tulisan (al-Khithâb al-Mutsbat). Atau dalam bahasa lain:

Teks = khithâb – dimensi khithâb yang hilang
Atau sebaliknya:
Khithâb = teks + dimensi khithâb yang hilang.

Ketidaksadaran akan adanya dimensi yang hilang ini menjadikan al-Qur'an –seakan-akan- hadir secara kontradiktif. Hal ini karena ada semacam musytarak mutsbat antara teks dan khithâb. Setidaknya ada tiga pola mengenai hal ini: 1) tentang terma hakikat dan mitsâl. Hal ini tercermin dalam Ali Imran; 102 sebagai sebuah hakikat dan Al-Taghabun;16 sebagai mitsâl/wâqi'. 2) terma juz'iykulliy dan nisbiy-mutlak. Tercermin dalam Al-Baqarah; 115 dan Al-Baqarah; 150. dan 3) tentang gradualitas ayat. Tercermin dalam ayat-ayat pengharaman khamr dan lain sebagainya.

Ada semacam titik hitam dimana dari sana muncul pseudo kontradiksi. Titik tersebut juga mengungkap bahwa pada dasarnya juz'iyyat adalah bagian dari kulliyat, nisbiy bagian dari mutlak dan mitsâl adalah bagian dari hakikat yang tersembunyi.

Ikhtilaf Dalâlah dalam al-Qur'an menjadi sebuah kajian yang tak pernah usai sampai sekarang. Bahkan dalam satu huruf pun ia bisa mempunyai dalâlah yang bermacam-macam. Berdasarkan pola gaya bahasa yang digunakan, sedikitnya ada tiga genre. 1) al-Iqtishâd al-uslûbiy (gaya bahasa ringkas) atau al-Ījaz. Hal ini terjadi pada huruf al-Tahajiy. Bahkan sampai sekarang ia masih menjadi misteri di kalangan sebagian ahli tafsir dan memasukkannya ke dalam kategori mutasyabbihât. Namun, ada bebarapa ilmuwan (Filsuf, sufi dan gnostik syi'ah) yang berusaha mengungkap maknanya dengan menjadikannya sebagai tanda simbolik yang memuat makna lebih tinggi yang tidak cukup hanya dengan pemahaman sahaja. Lebih dari itu, huruf hijaiyah dalam perspektif Ibn Arabi digunakan sebagai simbol klasifikasi wujud. Selain itu juga terjadi pada kata yang musytarak (makna ganda), ayat yang marja' dhamirnya tidak jelas seperti pada Thaha; 128.

Kedua, al-Ishâb atau al-Ithnâb. Ini terjadi pada ayat kisah para nabi. Kerap kali dua ayat dengan obyek pembahasan yang sama hadir dengan gaya bahasa yang berbeda. Dan kedua mempunyai dalâlah yang berbeda pula seperti dialog antara nabi Musa dengan Fir'aun dalam al-A'raf; 106 dan al-Syu'ara; 30-31.
Ketiga, mukhalâfât al-Siyâq. Seperti pada al-Sy'aura; 16-17.

Pada pembahasan sebelumnya, terma tentang al-Takhallus sudah sedikit di singgung. Ia adalah pola bangunan makna yang secara kasat mata berbeda, namun pada prinsipnya mempunyai dimensi masing-masing yang saling berkaitan. Sehingga menimbulkan apa yang disebut al-Fajwah dan al-Rabt (celah dan penghubung).[8] Al-Takhallus sendiri dalam al-Qur'an terjadi secara dua arah. Pertama, al-Takhallus al-Shautiy. Ini terjadi sebab qâfiyah ayat pertama dan ayat-ayat selanjutnya mengalami perubahan. Namun, dengan demikian Al-Qur'an menemukan keindahannya dari sisi bunyi dan menghasilkan irama yang berbeda. Kedua, al-Takhallus al-Ma'nawiy. Dan ini yang menjadi pembahasan inti kaitannya korelasi kalam dengan alam dari sisi pola. Surat al-Nahl; 64-66. pada tiga ayat ini ada tiga simbol yang menarik, yaitu: tanzîl al-Kitâb, Ma' al-Sama' dan labn al-An'âm. ketiganya adalah simbol dari tiga anugrah yang masing-masing berada dalam dimensi berbeda; wahyu sebagai bentuk anugrah rûhiyah, sedangkan air dan susu sebagai anugrah mâdiyyah.  Ketiganya juga berasal dari Tuhan sebagai mursil awal (pengirim pertama). Polanya kurang lebih seperti ini.
Allah
Wahyu----Langit---Ternak
                                                                                
                                                    Nabi ----Bumi----Manusia
Manusia

Pola di atas adalah pola makna kully yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Makna kulliy ini adalah kumpulan dari tiga makna juz'iyyah ayat. Dialektika antara kulliy dan juz'iy memunculkan dualisme dalam makna; al-Tarabut dan al-Fajwah. Al-Tarabut terjadi ketika ketiganya dikumpulkan menjadi satu. Sedangkan al-Fajwah terjadi ketika ketiganya dimaknai secara terpisah. Pola demikian tidak hanya terjadi pada ayat ini. Lebih lanjut, ia terdapat pada setiap huruf, kata, fâsilah, ayat, surat dan Al-Qur'an secara keseluruhan sebagai sebuah al-Wihdah al-Dalâliyah al-Ulya.[9]

Dialektika yang sama terjadi pada alam atau bahkan manusia (sebagai alam kecil). Ia terjadi pada kedua bentuk alam sekaligus; fisik (makrokosmos dan mikrokosmos) dan metafisik. Semua saling berkelit-kelindan dan bermuara pada satu dzat, Tuhan. Pada alam fisik dan manusia, hal ini dapat dibuktikan secara empirik berdasarkan penelitian ilmuwan eksakta moderen.

Alam, Imajinasi dan Majaz
Terma alam dalam perspektif filsafat dan ilmu kalam adalah segala sesuatu (Al-Maujudât) yang selain Allah. Meski demikian, klasifikasi tentang alam sangat beragam. Akan tetapi, Secara rinci Al-Farabi membagi Al-Maujudât ke dalam dua bagian, yaitu: Al-Maujudât al-Rûhiyyah, ia masih dibagi ke dalam enam bagian.  Urutan tertinggi adalah Tuhan sebagai al-Sabab al-Awal. kedua, adalah Akal yang jumlahnya ada sembilan sebagai penggerak alam semesta. Ketiga, akal fa'al manusia. keempat, jiwa manusia. Kelima, al-Huyûliy dan keenam, gambar. Adapaun Al-Maujudât al-Mâdiyyah dibagi menjadi enam tingkatan. Tingkatan paling tinggi adalah Manusia, hewan, tumbuhan, barang tambang, benda-benda luar angkasa dan al-Mâdah al-Ula (materi awal pembentuk alam).[10]

Al-Qur'an ketika menggunakan kata alam selalu menggunakan bentuk jamak. Sehingga, meski klasifikasi tentang alam begitu banyak, ia tetap mempunyai pembenarannya sendiri. Bagi penulis, alam adalah sebuah bentuk lain dari 'goresan pena Tuhan'. Dalam artian ia adalah teks tetapi dalam bentuk yang berbeda. atau dalam istilah lain ayat kauniyyah. Sedangkan Al-Qur'an adalah ayat Qauliyyah.[11]

Alam sebenarnya adalah teks yang ditulis dengan bahasa yang berbeda. ketika manusia melakukan penelitian terhadapnya, sebenarnya ia melakukan sebuah penafsiran dan menguraikan tanda simbolik apapun yang dihadirkannya. Dengan demikian kemajuan teknologi dan apapun yang menunjang hajat hidup manusia, pada dasarnya adalah hasil dari penafsiran dan pentakwilan atas ayat kauniyah untuk mengungkap aturan dan hukum alam yang berlaku. Ayat sanuriihim.

Jika keduanya adalah 'teks', maka memberberlakukan pembacaan intertekstual antar keduanya bukanlah hal yang mustahil. Dengan kata lain mendialektikakan antara ayat kauniyyah dengan ayat qauliyyah atau kalam dan alam atau wahyu dan wujud. Pada dasarnya, alam adalah sekumpulan kemungkinan (majmu'ât al-Mumkinât) yang melalui proses peralihan dari imajinasi-imajinasi yang tanpa batas (al-Tashawurât al-La nihâ'iyyah/ al-Khayâlât al-la nihâ'iyyah) ke bentuk yang indrawi terbatas dan tunduk pada aturan tertentu dari al-Wujûd al-Kulliy ke al-Wujûd al-Fardiy al-Juz'iy.

Teks Al-Qur'an secara simbolik merekam proses transformasi yang terjadi pada alam dengan berbagai derifasinya. Lebih dari itu, ia mampu memutar balik (Flash back) proses tersebut dari yang partikular (juz'iy) ke universal (kulliy). Al-Qur'an mampu merangkum semua itu, sebab bahasa mempunyai apa yang disebut dengan majaz yang mampu mengilustrasikan hal-hal yang tidak kasat mata (imajiner/abstrak) menjadi –seakan-akan- realita dan nyata. Barangkali demikian bentuk intertekstual yang terjadi antara wahyu dan wujud/ kalam dan alam.[12] Lalu dimana posisi imajinasi?

Imajinasi (al-Khayyâl) digunakan ketika dihadapkan pada sebuah teks yang penuh dengan nuansa simbolik. Sebab, teks secara umum tidak semuanya bersifat logis. Ada tipikal teks yang jika dibaca secara logis akan justru merusak bangunan makna yang dibentuk. Diantaranya adalah teks-teks sastra. Al-Qur'an pun juga demikian. Ada beberapa ayat yang penuh dengan penanda simbolik yang tidak bisa dipahami dengan pemahaman biasa. Diantaranya adalah ayat-ayat mengenai ilahiyyât, nubuwât, sam'iyyât, makrokosmos dan mikrokosmos, kisah para nabi dan umat terdahulu dan huruf-huruf pembukaan surat.

Ayat tentang ilahiyyât misalnya, ia akan terus memicu perdebatan yang langgeng jika masih dipahami dengan cara yang biasa. Ayat yadu allah fauq aydihim, al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa, hendaknya dipahami sebagai bentuk tajalli Allah kepada makhlukNya. Yang menarik adalah ketika kita melakukan pembacaan intertekstual mengenai masalah ini. Kita akan disuguhkan maklumat yang banyak tentang Tuhan. Namun semuanya berkutat pada Al-Asmâ' dan al-Sifât saja. Lebih dari itu, Tuhan membatasi pengetahuan manusia dengan mengatakan laysa ka mitslihi syai. Ayat ini seakan-akan menjadi hijab atau barzakh yang menutup celah atas manusia. Sehingga para ilmuwan merumuskan kaidah dalam masalah ini bahwa al-'Ajz 'an al-Idrâk huwa 'ain al-Idrâk.

Contoh lain adalah pembacaan yang dilakukan oleh Al-Ghazali tentang tamtsîl cahaya (al-Nur) dalam al-Nur;35. apabila Al-Ghazali memandang cahaya sebagai sinar matahari yang bias ditangkap mata, maka ia tak akan sampai pada makna dan kesadaran yang tinggi perihal ayat tersebut. Namun dengan simbolik dan takwili ini, ia berhasil mengungkap bahwa cahaya yang dimaksud adalah berperingkat sesuai dengan alamnya masing-masing. Lebih lanjut ia membagi lagi ke dalam dua bagian: cahaya yang bias ditangkap oleh mata (bashar) dan cahaya yang hanya bisa ditangkap oleh mata hati (bashîrah).[13]

Dengan demikian majaz dalam bahasa laksana sebuah cermin yang bias menampung 'bayangan' alam dan wujud yang metafisik. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi fungsi majaz –menurut penulis-: pertama, majaz mampu mengungkap wujud yang universal (kulliy) menggunakan simbol dari alam partikular (juz'iy). Kedua, majaz memberikan kesempatan kepada dzat untuk berpisah dari dirinya dan membaur dengan yang lain. Ketiga, majaz mengungkap hakikat sesuatu melalui symbol yang dibuat atau teori alam mimpi.[14]

Selain sebagai cermin, ia juga penghubung antara antara alam dunya dan alam 'ulya (mi'râj al-Wâqi'). Namun, perlu diketahui bahwa dalam tradisi tasawuf pembahasan seperti ini selalu didampingi dengan pembahasan seputar tingkatan ruh. sebab jika tidak demikian, pembahasan tentang takwil seperti ini tidak menemukan pijakan epistemologis. Al-Ghazaliy menyebutkan ada lima tingkatan ruh: 1) al-Ruh al-Hassâs, 2) al-Ruh al-Khayyâliy, 3) al-Ruh al-'Aqliy, 4) al-Ruh al-Fikriy, 5) al-Ruh al-Qudsiy al-Nabawiy.

Roh inderawi adalah bagian jiwa manusia yang berperan mengenal dan membedakan sesuatu yang dikenal di alam indrawiy (dunia empiris). Roh imaginasi ialah bagian jiwa yang tugasnya merekam keterangan yang dikirim oleh indera, kemudian menyimpannya dan menyampaikannya pada ruh yang di atasnya, yaitu ruh akal atau inteligensia. Apabila imaginasi yang pekat dapat dijernihkan, dihaluskan dan dirapikan, maka ia akan dapat digunakan untuk mencapai batas makna-makna yang dapat diserap oleh inteligensia atau akal budi. Peran imaginasi ialah menghimpun simbol-simol imaginatif bagi keperluan pengetahuan akal. Imaginasi sangat diperlukan dalam penerapan kaidah takwil, namun yang tidak kalah penting ialah ruh pemikiran (al-Ruh al-Fikr). Peran ruh pemikiran ialah mengambil ilmu-ilmu rasional murni dan kemudian melakukan penyesuaian-penyesuaian dan penggabungan-penggabungan untuk membuat kesimpulan-kesimpulan berupa pengetahuan spiritual.[15]

Al-Muhasibiy 12 abad silam telah mengisyaratkan korelasi antara kalam dan alam melalui penelusurannya tentang esensi akal. Penaparannya tentang esensi akal (mâ'iyat al-Aql) pada titik kulminasinya mempertemukan antara dua kutub teks, alam teks dan teks alam. Baginya akal adalah mustadil. Sedangkan kalam (ayat qauliyyah/ alam teks) dan alam (ayat kauniyyah/teks alam) dalil yang mengantarkan pada eksistensi yang paling tinggi, Tuhan.[16]

Prolog
Melalui al-Nash al-Qur'aniy; min al-Jumlah ila al-'Alam, setidaknya Walid Munir telah membuka cakrawala tentang korelasi alam teks (kalam) dan teks alam. Alam adalah sekumpulan kebermungkinan yang tak terbatas. Adapun kalam memuat simbol-simbol kebermungkinan itu. Keduanya bermuara pada sumber yang sama, Allah. Hanya saja, jika alam adalah teofani yang hadir sebagai makhluk. Maka kalam adalah teofani yang hadir sebagai amr ilahiy. Dengan demikian Al-Qur'an akan tetap menjadi ruang untuk dibaca. Sebab berkumpul dalam di dalamnya ilm al-Awwalin dan ilm al-Akhirin, ilm al-Dzâhir dan ilm al-Bâthin, dan gerbang menuju yang ghaib (mafâtih al-Ghaib) yang menjadi rahasia Tuhan. Barang kali atas dasar ini, kaum sufi merasa berhutang budi pada Asy'arian yang dengan mati-matian menentang kemakhlukan Al-Qur'an.

الهي...
قد علمت باختلاف الآثار و تنقلات الأطوار
ان مرادك ان تتعرف اليَّ في كل شيئ
حتي لا أجهلك في كلي شيئ
(الحكم العطائية)




[1] Walid Munir, Al-Nash al-Qur'aniy; min al-Jumlah ila al-‘Alam, Al-Ma’had al-‘Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, Kairo, 1997, h. 119-126
[2] Ibid., h. 51
[3] Ibid., h. 15
[4] Abdul Qahir al-Jurjani, Dala’il al-I’jaz, tahkik; Mahmud Ahmad Syakir, Syirkat al-Quds, Kairo Cet I, 1992, h. 4
[5] Walid Munir, Op. Cit., h. 18
[6]  Perihal sampainya wahyu kepada nabi Muhammad ada tiga cara; kalam dari balik tabir, langsung ke dalam hati Nabi atau melalui perantara malaikat. Adapun wahyu Al-Qur’an kesemuanya diturunkan melalui Malaikat Jibril syafâhiyan. Lihat kata pembuka Tafsir al-Sya’rawiy.
[8] istilah ini sebenarnya adalah istilah dalam syair. Dalam sebuah ontology syair, penyair kerap kali berpindah dari satu makna ke makna yang lain. Sehingga menimbulkan semacam keterpotongan logika atau celah yang harus dipadukan untuk bias mengungkap maksud dari sang penyair secara utuh.
[9] Walid Munir, Op. Cit., h. 64
[10] Ali Abd al-Wafie, Al-Madinat al-Fadhilah ‘Inda al-Farabi, Nahdhat al-Misr, Kairo tt, h. 24-26
[11] Walid Munir, Op. Cit., h. 66
[12] Ibid., h. 69
[13] Abu Hamid Al-Ghazaliy, Misykat al-Anwar, Tahkik; Ridhwan Jami’ Ridhwan, Dar el-Haram, Kairo Cet I, h. 55
[14]  Walid Munir, Op. Cit., h. 106-107
[15]  Abu Hamid al-Ghazaliy, Op. Cit., h. 73-74
[16]  Lihat pengantar penahkik Al-Harits Al-Muhasibiy, Al-‘Aql wa Fahm al-Qur’an, Tahkik; Hasan al-Qautiliy, Dar al-Kindi, Beirut, Cet II, 1982, h

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ketik komentar anda, pilih name/URL, masukkan nama, dan klik poskan komentar